Oleh : Gunardi Lumbantoruan
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Mahkamah Konstitusi adalah peradilan
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menyelesaikan
perkara-perkara yang menjadi kewenangannya. Dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945
disebutkan bahwa MK mempunyai kewenangan untuk menguji Undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan dalam
ketentuan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa MK berkewajiban untuk
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Sejak tahun 2003 hingga sekarang (1
Juni 2012) tercatat bahwa MK telah memutus sebanyak 397 perkara pengujian
undang-undang, 19 putusan terkait perkara sengketa kewenangan antar lembaga
negara, 426 putusan terkait perkara perselisihan hasil pemilihan umum daerah,
Namun belum ada putusan terkait perkara pembubaran partai politik. Hal ini
karena memang belum ada permohonan untuk perkara pembubaran partai politik dari
pemohon, yakni pemerintah pusat.
Dalam hal ini penulis memandang bahwa
aturan itu kurang tepat, mengingat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengatakan bahwa
kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar,
maka seharusnya rakyat diberi kewenangan untuk mengajukan pembubaran
partai politik ke MK. Hal ini karena penulis menilai bahwa sebagian parpol
sudah tidak dapat lagi menjalankan fungsinya dengan baik karena banyak kader
parpol yang terlibat kasus korupsi, hal ini tentunya dapat menghambat negara
dalam pencapaian tujuan negara, utamanya adalah untuk memajukan kesejahteraan
umum. Namun disamping itu penulis juga menyadari akan pentingnya Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran sesuai pasal 28 UUD 1945
yang tidak bisa dikesampingkan dalam perkara pembubaran partai politik
. Oleh karena itu dalam kesempatan kali ini,
berkaitan dengan tugas yang diberikan oleh Bapak/Ibu Dosen bagian Hukum Tata
Negara, penulis hendak menulis sebuah tulisan yang berjudul :
“MENELISIK KEWENANGAN MAHKAMAH
KONSTITUSI DALAM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK”
2. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang
diatas maka penulis merumuskan permasalahannya sebagai berikut :
(1) Sejauh mana kewenangan MK dalam
pembubaran partai politik?
(2) Siapakah yang seharusnya berhak
menjadi pemohon dalam perkara pembubaran partai politik?
(3) Apakah pembubaran partai politik
tidak menciderai kehidupan berdemokrasi?
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian dan Fungsi Partai Politik
Partai politik adalah partai politik
bersifat nasional dan partai politik lokal sesuai dengan peraturan
perundang-undangan[1]. Sementara menurut Undang-undang No 2 tahun 2008 tentang
partai politik, yang dimaksud Partai Politik adalah organisasi yang bersifat
nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela
atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[2]. Yang dimaksud dengan partai
politik nasional adalah partai politik yang mempunyai kepengurusan
nasional, sedangkan yang dimaksud partai politik lokal adalah partai politik
yang mempunyai kepengurusan lokal, contohnya adalah partai politik lokal di
Daerah Istimewa Aceh yang merupakan hasil kesepakatan politik dalam UU No 11 tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh dan melalui PP Nomor 20 tahun 2007 tentang
Partai Politik Lokal di Aceh.
Partai Politik mempunyai posisi
(status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi.
Partai memerankan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses
pemerintahan dengan warga negara[3]. Pakar hukum Von Kirchmann pernah mengatakan bahwa
bergudang-gudang buku tentang undang-undang (UU) yang ada diperpustakaan bisa
dibuang sebagai sampah yang tak bernilai ketika ada keputusan politik di
parlemen yang mengubah isi UU tersebut[4]. Pada umumnya, para ilmuwan politik
biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi
partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana komunikasi
politik, sosialisasi politik, sarana rekruitmen politik dan pengaturan
konflik.[5]
Namun yang sering terjadi adalah bahwa partai politik cenderung oligarkis,
seringkali bertindak seolah-olah demi kepentingan rakyat, namun memiliki agenda
tersendiri untuk menjamin kepentingan golongannya sendiri, sehingga
diperlukan pengawasan yang dapat menjamin terlaksana nya tujuan hakiki dari
sebuah partai politik.
2. Kewenangan MK dalam Pembubaran Partai Politik
kewenangan MK dalam pembubaran partai
politik dijamin oleh Pasal 24C UUD 1945 jo. Pasal
19 ayat (1) UU
Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 10 ayat (1) UU MK. Yang dimaksud dengan partai politik dalam hal
pembubaran partai politik, sesuai dengan Undang-undang Partai Politik adalah
partai politik yang bersifat nasional. Dalam hal ini tidak berarti partai
politik lokal tidak dapat dimintakan pembubarannya kepada MK. Bahwa
Pemberitahuan pembubaran Partai Lokal di Aceh harus menyertakan Putusan
MK jika pembubaran oleh MK[6].
Partai politik dapat bubar karena Membubarkan
diri atas keputusan sendiri dalam AD/ART, menggabungkan diri dengan partai poltik lain, atau dibubarkan
oleh MK[7]. Kewenangan MK seperti disebut pada
pasal pasal 41 huruf C UU No 2 tahun 2008 dapat dilaksanakan atas aduan oleh
pemerintah dengan alasan sebagai berikut :
1. Ideologi, asas, tujuan, program
partai politik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan/atau
2. kegiatan partai politik bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau akibat
yang ditimbulkannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.[8]
Berdasarkan pasal 10 huruf C Peraturan Mahkamah
Konstitusi No 12 tahun 2008 disebutkan bahwa dalam hal permohonan dikabulkan
maka, amar putusan memerintah kepada pemerintah untuk :
1. Menghapuskan partai politik yang
dibubarkan dari daftar pada Pemerintah paling lambat dalam jangka waktu 7
(tujuh) hari kerja sejak putusan Mahkamah diterima.
2. Mengumumkan putusan Mahkamah dalam
Berita Negara Republik Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
putusan diterima.
Namun sesuai dengan ketentuan Pasal
47 UU No 24 tahun 2004, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum
tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”. Oleh karena itu,
pengumuman oleh pemerintah dalam Berita Negara hanyalah untuk kepentingan
publikasi dan sosialisasi belaka yang tidak mempunyai akibat hukum. Artinya
daya ikat putusan pembubaran partai politik itu secara hukum tidak tergantung
kepada tindakan eksekusi oleh pemerintah dengan cara mengumumkannya dalam
Berita Negara tersebut[9]. Hal ini menegaskan kembali bahwa putusan yang
dikeluarkan oleh MK terkait perkara yang menjadi kewenangannya adalah bersifat
final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. Pemohon Pembubaran Partai Politik
Pasal 3 ayat (1) Peraturan
Mahkamah Konstitusi No 12 tahun 2008 menyebutkan bahwa yang menjadi pemohon
dalam pembubaran partai politik adalah pemerintah yang dapat diwakili oleh
Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden untuk itu, sedangkan
tata cara pengajuan permohonannya diatur pula dalam Pasal (4). Dengan
ditetapkannya pemerintah sebagai pemohon dalam perkara pembubaran partai
politik dianggap kurang adil bagi rakyat, mengingat pasal 1 ayat (2) UUD 1945
menyebutkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.
Standing adalah satu konsep yang digunakan untuk menentukan apakah satu pihak
terkena dampak secara cukup sehingga satu perselisihan diajukan ke depan
pengadilan. Ini adalah satu hak untuk mengambil langkah merumuskan masalah
hukum agar memperoleh putusan akhir dari pengadilan[10]. Dalam yurisprudensi
Amerika dikatakan bahwa tiga syarat harus dipenuhi untuk mempunyai standing to sue, yaitu sebagai berikut,
1. Adanya kerugian yang timbul karena
adanya pelanggaran kepentingan pemohon yang dilindungi secara hukum yang
bersifat:
a. Spesifik atau khusus, dan
b. Aktual dalam satu kontroversi dan
bukan hanya bersifat potensial
2. Adanya hubungan sebab akibat atau
hubungan kausalitas antara kerugian dengan berlakunya satu undang-undang.
3. Kemungkinan dengan diberikannya
keputusan yang diharapkan, kerugian akan dihindarkan, atau dipulihkan.[11]
Jika berpedoman dengan hal di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam perkara pembubaran partai politik
seharusnya rakyat juga mempunyai hak untuk menggugat atau bertindak sebagai
pemohon, karena rakyat juga dirugikan atas pelaksanaan kegiatan partai politik
yang dapat menghambat kesejahteraan umum, mempunyai hubungan sebab akibat atas
kerugian dengan beroperasinya suatu kegiatan partai tertentu, dan tentunya jika
partai yang merugikan tersebut dibubarkan maka kerugian atas terhambatnya
kesejahteraan umum dapat dihindarkan.
Contohnya saja adalah jika kader
suatu partai politik melakukan tindak pidana korupsi dan dana dari hasil
korupsi tersebut dipergunakan untunk kepentingan partai, maka kejahatan
seperti itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi.
Dalam hal tindak pidana korupsi
dilakukan atau nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat
dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya[12]. Yang dimaksud dengan
korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dikenakannya sanksi
pidana/tindakan kepada korporasi dalam perkara korupsi ini cukup beralasan dan
sesuai dengan beberapa rekomendasi kongres PBB mengenai The Prevention of Crime
and the Treatment of Offenders[13].
Jika suatu partai terlibat kejahatan
korporasi maka seharusnya pembubaran partai terssebut dapat dimintakan ke MK
dengan alasan bahwa kegiatan partai politik tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan akibat yang
ditimbulkannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Namun yang menjadi ironi adalah jika partai tersebut
merupakan partai pemerintah yang sedang berkuasa. Tentunya dalam hal ini hampir
dapat dipastikan bahwa pemerintah tidak akan menggugat partainya sendiri.
Oleh karena itulah diperlukan pihak
yang independent, yang dapat menuntut pembubaran partai politik tersebut,
dalam hal ini yang diangggap paling mungkin adalah rakyat, namun hak
menggugat rakyat terhadap pembubaran partai politik memang belum diakui dan
dilindungi secara hukum.
4. Akibat Hukum Pembubaran Partai
Politik
Pasal 10 ayat
(2) PMK No. 12 Th. 2008 menyebutkan bahwa akibat dari adanya pembubaran suatu partai politik
adalah :
a. Pelarangan
hak hidup partai politik dan penggunaan simbol-simbol partai tersebut di
seluruh Indonesia;
b. Pemberhentian
seluruh anggota DPR dan DPRD dari Parpol yang dibubarkan (melaui Keputusan
Dewan);
c. Pelarangan
terhadap mantan pengurus partai politik yang dibubarkan untuk melakukan
kegiatan politik;
d. Pengambilalihan
oleh negara atas kekayaan partai politik yang dibubarkan.
Dengan dibubarkannya suatu partai
politik memang memiliki dampak yang cukup besar bagi para pengurus dan partai
politik itu sendiri. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sejak masa
pemerintahan orde lama hingga sekarang (masa reformasi) tercatat bahwa
setidaknya telah ada 3 partai politik yang dibubarkan oleh pemerintah, yakni
Partai Masjumi (dengan Keppers No 200 tahun 1960) dan Partai Sosialis Indonesia
(dengan Keppers No 201 tahun 1960) pada masa pemerintahan Soekarno, serta
Partai Komunis Indonesia (dengan Keppers No 1/3 tahun 1966) pada masa
pemerintahan Soeharto.
Dua (2) poin pertama dalam 7 Guidelines on Prohibition of Political
Parties and Analogous Measures menyebutkan bahwa :
1.
Negara harus mengakui bahwa setiap
orang memiliki hak untuk berkumpul dan berserikat secara bebas dalam partai
politik. Hak ini mencakup juga kebebasan orang untuk mengemukakan pandangan
politik dan untuk menerima dan menyampaikan informasi tanpa rintangan oleh
pejabat publik dan tanpa batasan. Persyaratan pendaftaran partai politik tidak
dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak dimaksud.
2.
Setiap pembatasan terhadap kegiatan
partai politik dalam menjalankan hak-hak dasar yang tersebut haruslah sejalan
dengan ketentuan “European Convention for the Protection of Human Rights” dan
perjanjian-perjanjian internasional lainnya, baik dalam kondisi normal maupun
dalam kondisi yang darurat.[14]
Dari pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa pembubaran partai politik bukanlah merupakan pembatasan
ataupun pelanggaran terhadap hak azasi manusia, utamanya adalah kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran sesuai pasal 28 UUD 1945,
selama sesuai dengan aturan yang ada dan telah disepakati bersama. Dalam hal
ini MK diharapkan menjadi pengawal dan penjamin akan terselenggaranya kehidupan
berdemokrasi di Indonesia.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Pada dasarnya kebebasan untuk
berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran merupakan hak manusia yang
paling hakiki dalam sebuah kehidupan berdemokrasi. Namun demokrasi itu bukan
berarti tanpa batas, artinya tetap ada rambu-rambu yang harus dipatuhi dalam
pelaksanaannya. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu Lembaga Negara yang
bertanggung jawab untuk mengawal dan menjamin demokrasi tersebut agar tidak
melenceng dari tujuan awal.
Kewengan MK dalam pembubaran partai
politik merupakan kewenangan yang sangat strategis sekaligus mengandung resiko
yang besar. Untungnya Kewenangan MK tersebut diatur dan dibatasi oleh
aturan-aturan yang kuat, sehingga kekhawatiran akan terlanggarnya hak-hak dasar
manusia dijamin tidak terjadi.
Namun penulis merasa aturan yang ada
masih belum bisa mengakomodasi kepentingan rakyat. Bahwa seharusnya bukan hanya
pemerintah yang diberi hak untuk menuntut pembubaran suatu partai politik,
namun hendaknya rakyat juga diberi Legal
Standing (hak gugat) dalam perkara pembubaran partai politik ini.
2. Saran
Judicial Review merupakan
representatif dari Konstitusi Negara Republik Indonesia yang menegaskan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar. Hal ini karena setiap rakyat memiliki hak untuk menuntut dibatalkannya
suatu Undang-undang jika dianggap merugikan rakyat dan/atau bertentangan dengan
Undan-Undang Dasar 1945.
Untuk memastikan bahwa kedaulatan
memang berada di tangan rakyat, penulis menyarankan bahwa seharusnya DPR
membuat hukum yang menjamin bahwa rakyat memiliki hak untuk menuntut perkara
pembubaran partai politik. Selain itu penulis juga berharap untuk lebih
dipertegas bahwa partai politik merupakan suatu korporasi, yang jika melakukan
kejahatan tertentu, utamanya Tindak Pidana Korupsi secara korporasi harus
dibekukan atau bahkan dibubarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. 2005, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi., Konstitusi press, Jakarta.
Mahfud MD, Moh. 2011, Perdebatan Hukum Tata Negara, Rajawali
Pers, Jakarta.
Siahaan, Maruarar. 2011, Hukum Acara Nahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Widodo Tresno Novianto, “Korporasi
Sebagai Subjek Tindak Pidana Korupsi dan Prospeknya bagi Penanggulangan Korupsi
di Indonesia”, Yustisia, Edisi No 70,
2007.
Undang-undang No 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang No 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik.
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh
Peraturan Mahkamah Konstitusi No 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara
dalam Pembubaran Partai Politik.
[3] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat,
Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, hal 52
[9] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat,
Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, hal 145
[13] Widodo Tresno Novianto, Korporasi Sebagai Subjek
Tindak Pidana Korupsi dan Prospeknya bagi Penanggulangan Korupsi di Indonesia
[14] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat,
Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, hal 130
0 komentar:
Posting Komentar