Selasa, 26 Juni 2012

MENELISIK KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

Oleh : Gunardi Lumbantoruan

A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Mahkamah Konstitusi adalah peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangannya. Dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa MK mempunyai kewenangan untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa MK berkewajiban untuk memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.



Sejak tahun 2003 hingga sekarang (1 Juni 2012) tercatat bahwa MK telah memutus sebanyak 397 perkara pengujian undang-undang, 19 putusan terkait perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara, 426 putusan terkait perkara perselisihan hasil pemilihan umum daerah, Namun belum ada putusan terkait perkara pembubaran partai politik. Hal ini karena memang belum ada permohonan untuk perkara pembubaran partai politik dari pemohon, yakni pemerintah pusat.
Dalam hal ini penulis memandang bahwa aturan itu kurang tepat, mengingat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, maka seharusnya  rakyat diberi kewenangan untuk mengajukan pembubaran partai politik ke MK. Hal ini karena penulis menilai bahwa sebagian parpol sudah tidak dapat lagi menjalankan fungsinya dengan baik karena banyak kader parpol yang terlibat kasus korupsi, hal ini tentunya dapat menghambat negara dalam pencapaian tujuan negara, utamanya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Namun disamping itu penulis juga menyadari akan pentingnya Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran sesuai pasal 28 UUD 1945 yang tidak bisa dikesampingkan dalam perkara pembubaran partai politik
. Oleh karena itu dalam kesempatan kali ini, berkaitan dengan tugas yang diberikan oleh Bapak/Ibu Dosen bagian Hukum Tata Negara, penulis hendak menulis sebuah tulisan yang berjudul :
“MENELISIK KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK”
2.    Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang diatas maka penulis merumuskan permasalahannya sebagai berikut :
(1)     Sejauh mana kewenangan MK dalam pembubaran partai politik?
(2)     Siapakah yang seharusnya berhak menjadi pemohon dalam perkara pembubaran partai politik?
(3)     Apakah pembubaran partai politik tidak menciderai kehidupan berdemokrasi?

B.     PEMBAHASAN

1.      Pengertian dan Fungsi Partai Politik
Partai politik adalah partai politik bersifat nasional dan partai politik lokal sesuai dengan peraturan perundang-undangan[1]. Sementara menurut Undang-undang No 2 tahun 2008 tentang partai politik, yang dimaksud Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[2]. Yang dimaksud dengan partai politik nasional adalah partai politik yang mempunyai kepengurusan nasional, sedangkan yang dimaksud partai politik lokal adalah partai politik yang mempunyai kepengurusan lokal, contohnya adalah partai politik lokal di Daerah Istimewa Aceh yang merupakan hasil kesepakatan politik dalam UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan melalui PP Nomor 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.
Partai Politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai memerankan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara[3]. Pakar hukum Von Kirchmann pernah mengatakan bahwa bergudang-gudang buku tentang undang-undang (UU) yang ada diperpustakaan bisa dibuang sebagai sampah yang tak bernilai ketika ada keputusan politik di parlemen yang mengubah isi UU tersebut[4]. Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, sarana rekruitmen politik dan pengaturan konflik.[5] Namun yang sering terjadi adalah bahwa partai politik cenderung oligarkis, seringkali bertindak seolah-olah demi kepentingan rakyat, namun memiliki agenda tersendiri untuk menjamin kepentingan golongannya sendiri, sehingga diperlukan pengawasan yang dapat menjamin terlaksana nya tujuan hakiki dari sebuah partai politik.

2.      Kewenangan MK dalam Pembubaran Partai Politik
kewenangan MK dalam pembubaran partai politik  dijamin oleh Pasal 24C UUD 1945 jo. Pasal 19 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 10 ayat (1) UU MK. Yang dimaksud dengan partai politik dalam hal pembubaran partai politik, sesuai dengan Undang-undang Partai Politik adalah partai politik yang bersifat nasional. Dalam hal ini tidak berarti partai politik lokal tidak dapat dimintakan pembubarannya kepada MK. Bahwa Pemberitahuan pembubaran Partai Lokal  di Aceh harus menyertakan Putusan MK jika pembubaran oleh MK[6].
Partai politik dapat bubar karena Membubarkan diri atas keputusan sendiri dalam AD/ART, menggabungkan diri dengan partai poltik lain, atau dibubarkan oleh MK[7]. Kewenangan MK seperti disebut pada pasal pasal 41 huruf C UU No 2 tahun 2008 dapat dilaksanakan atas aduan oleh pemerintah dengan alasan sebagai berikut :
1.        Ideologi, asas, tujuan, program partai politik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau
2.        kegiatan partai politik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau akibat yang ditimbulkannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[8]
Berdasarkan pasal 10 huruf C Peraturan Mahkamah Konstitusi No 12 tahun 2008 disebutkan bahwa dalam hal permohonan dikabulkan maka, amar putusan memerintah kepada pemerintah untuk :
1.      Menghapuskan partai politik yang dibubarkan dari daftar pada Pemerintah paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan Mahkamah diterima.
2.      Mengumumkan putusan Mahkamah dalam Berita Negara Republik Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan diterima.
Namun sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UU No 24 tahun 2004, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”. Oleh karena itu, pengumuman oleh pemerintah dalam Berita Negara hanyalah untuk kepentingan publikasi dan sosialisasi belaka yang tidak mempunyai akibat hukum. Artinya daya ikat putusan pembubaran partai politik itu secara hukum tidak tergantung kepada tindakan eksekusi oleh pemerintah dengan cara mengumumkannya dalam Berita Negara tersebut[9]. Hal ini menegaskan kembali bahwa putusan yang dikeluarkan oleh MK terkait perkara yang menjadi kewenangannya adalah bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
3.      Pemohon Pembubaran Partai Politik
Pasal 3 ayat (1)  Peraturan Mahkamah Konstitusi No 12 tahun 2008 menyebutkan bahwa yang menjadi pemohon dalam pembubaran partai politik adalah pemerintah yang dapat diwakili oleh Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden untuk itu, sedangkan tata cara pengajuan permohonannya diatur pula dalam Pasal (4). Dengan ditetapkannya pemerintah sebagai pemohon dalam perkara pembubaran partai politik dianggap kurang adil bagi rakyat, mengingat pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Standing adalah satu konsep yang digunakan untuk menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara cukup sehingga satu perselisihan diajukan ke depan pengadilan. Ini adalah satu hak untuk mengambil langkah merumuskan masalah hukum agar memperoleh putusan akhir dari pengadilan[10]. Dalam yurisprudensi Amerika dikatakan bahwa tiga syarat harus dipenuhi untuk mempunyai standing to sue, yaitu sebagai berikut,
1.        Adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan pemohon yang dilindungi secara hukum yang bersifat:
a.         Spesifik atau khusus, dan
b.        Aktual dalam satu kontroversi dan bukan hanya bersifat potensial
2.        Adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara kerugian dengan berlakunya satu undang-undang.
3.        Kemungkinan dengan diberikannya keputusan yang diharapkan, kerugian akan dihindarkan, atau dipulihkan.[11]
Jika berpedoman dengan hal di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam perkara pembubaran partai politik seharusnya rakyat juga mempunyai hak untuk menggugat atau bertindak sebagai pemohon, karena rakyat juga dirugikan atas pelaksanaan kegiatan partai politik yang dapat menghambat kesejahteraan umum, mempunyai hubungan sebab akibat atas kerugian dengan beroperasinya suatu kegiatan partai tertentu, dan tentunya jika partai yang merugikan tersebut dibubarkan maka kerugian atas terhambatnya kesejahteraan umum dapat dihindarkan.
Contohnya saja adalah jika kader suatu partai politik melakukan tindak pidana korupsi dan dana dari hasil korupsi tersebut dipergunakan untunk kepentingan partai,  maka kejahatan seperti itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi.
Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan atau nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya[12]. Yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dikenakannya sanksi pidana/tindakan kepada korporasi dalam perkara korupsi ini cukup beralasan dan sesuai dengan beberapa rekomendasi kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders[13].
Jika suatu partai terlibat kejahatan korporasi maka seharusnya pembubaran partai terssebut dapat dimintakan ke MK dengan alasan bahwa kegiatan partai politik tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan akibat yang ditimbulkannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun yang menjadi ironi adalah jika partai tersebut merupakan partai pemerintah yang sedang berkuasa. Tentunya dalam hal ini hampir dapat dipastikan bahwa pemerintah tidak akan menggugat partainya sendiri.
Oleh karena itulah diperlukan pihak yang independent, yang dapat menuntut pembubaran partai politik tersebut, dalam  hal ini yang diangggap paling mungkin adalah rakyat, namun hak menggugat rakyat terhadap pembubaran partai politik memang belum diakui dan dilindungi secara hukum.
4.      Akibat Hukum Pembubaran Partai Politik
Pasal 10 ayat (2) PMK No. 12 Th. 2008  menyebutkan bahwa akibat dari adanya pembubaran suatu partai politik adalah :
a.         Pelarangan hak hidup partai politik dan penggunaan simbol-simbol partai tersebut di seluruh Indonesia;
b.        Pemberhentian seluruh anggota DPR dan DPRD dari Parpol yang dibubarkan (melaui Keputusan Dewan);
c.         Pelarangan terhadap mantan pengurus partai politik yang dibubarkan untuk melakukan kegiatan politik;
d.        Pengambilalihan oleh negara atas kekayaan partai politik yang dibubarkan.
Dengan dibubarkannya suatu partai politik memang memiliki dampak yang cukup besar bagi para pengurus dan partai politik itu sendiri. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sejak masa pemerintahan orde lama hingga sekarang (masa reformasi) tercatat bahwa setidaknya telah ada 3 partai politik yang dibubarkan oleh pemerintah, yakni Partai Masjumi (dengan Keppers No 200 tahun 1960) dan Partai Sosialis Indonesia (dengan Keppers No 201 tahun 1960) pada masa pemerintahan Soekarno, serta Partai Komunis Indonesia (dengan Keppers No 1/3 tahun 1966) pada masa pemerintahan Soeharto.
Dua (2) poin pertama dalam 7 Guidelines on Prohibition of Political Parties and Analogous Measures menyebutkan bahwa :
1.             Negara harus mengakui bahwa setiap orang memiliki hak untuk berkumpul dan berserikat secara bebas dalam partai politik. Hak ini mencakup juga kebebasan orang untuk mengemukakan pandangan politik dan untuk menerima dan menyampaikan informasi tanpa rintangan oleh pejabat publik dan tanpa batasan. Persyaratan pendaftaran partai politik tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak dimaksud.
2.             Setiap pembatasan terhadap kegiatan partai politik dalam menjalankan hak-hak dasar yang tersebut haruslah sejalan dengan ketentuan “European Convention for the Protection of Human Rights” dan perjanjian-perjanjian internasional lainnya, baik dalam kondisi normal maupun dalam kondisi yang darurat.[14]
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pembubaran partai politik bukanlah merupakan pembatasan ataupun pelanggaran terhadap hak azasi manusia, utamanya adalah kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran sesuai pasal 28 UUD 1945, selama sesuai dengan aturan yang ada dan telah disepakati bersama. Dalam hal ini MK diharapkan menjadi pengawal dan penjamin akan terselenggaranya kehidupan berdemokrasi di Indonesia.

C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
Pada dasarnya kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran merupakan hak manusia yang paling hakiki dalam sebuah kehidupan berdemokrasi. Namun demokrasi itu bukan berarti tanpa batas, artinya tetap ada rambu-rambu yang harus dipatuhi dalam pelaksanaannya. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu Lembaga Negara yang bertanggung jawab untuk mengawal dan menjamin demokrasi tersebut agar tidak melenceng dari tujuan awal.
Kewengan MK dalam pembubaran partai politik merupakan kewenangan yang sangat strategis sekaligus mengandung resiko yang besar. Untungnya Kewenangan MK tersebut diatur dan dibatasi oleh aturan-aturan yang kuat, sehingga kekhawatiran akan terlanggarnya hak-hak dasar manusia dijamin tidak terjadi.
Namun penulis merasa aturan yang ada masih belum bisa mengakomodasi kepentingan rakyat. Bahwa seharusnya bukan hanya pemerintah yang diberi hak untuk menuntut pembubaran suatu partai politik, namun hendaknya rakyat juga diberi Legal Standing (hak gugat) dalam perkara pembubaran partai politik ini.


2.      Saran
Judicial Review merupakan representatif dari Konstitusi Negara Republik Indonesia yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini karena setiap rakyat memiliki hak untuk menuntut dibatalkannya suatu Undang-undang jika dianggap merugikan rakyat dan/atau bertentangan dengan Undan-Undang Dasar 1945.
Untuk memastikan bahwa kedaulatan memang berada di tangan rakyat, penulis menyarankan bahwa seharusnya DPR membuat hukum yang menjamin bahwa rakyat memiliki hak untuk menuntut perkara pembubaran partai politik. Selain itu penulis juga berharap untuk lebih dipertegas bahwa partai politik merupakan suatu korporasi, yang jika melakukan kejahatan tertentu, utamanya Tindak Pidana Korupsi secara korporasi harus dibekukan atau bahkan dibubarkan.

DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. 2005, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi., Konstitusi press, Jakarta.
Mahfud MD, Moh. 2011, Perdebatan Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta.
Siahaan, Maruarar. 2011, Hukum Acara Nahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Widodo Tresno Novianto, “Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana Korupsi dan Prospeknya bagi Penanggulangan Korupsi di Indonesia”, Yustisia, Edisi No 70, 2007.

Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh
Peraturan Mahkamah Konstitusi No 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara dalam Pembubaran Partai Politik.






[1] Pasal 1 angka (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi No 12 tahun 2008
[2] Pasal 1 angka (1) Undang-undang No 2 Tahun 2008
[3] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, hal 52
[4] Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, hal 47
[6] Pasal 12 ayat (3) huruf C PP No. 20 Tahun 2007
[7] Pasal 41 UU Undang-undang No 2 Tahun 2008
[8] Pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi No 12 tahun 2008
[9] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, hal 145
[10] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi 2, hal 65
[11] Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi 2, hal 66
[12] Pasak 20 ayat (1) Undang-undang No 31 tahun 1999
[13] Widodo Tresno Novianto, Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana Korupsi dan Prospeknya bagi Penanggulangan Korupsi di Indonesia
[14] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, hal 130

0 komentar:

Posting Komentar