Kamis, 03 Mei 2012

ASURANSI DAN PERMASALAHANNYA DALAM PERJANJIAN ASURANSI

Oleh : Benyamin A M Siburian

I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan sebuah negara berkembang yang sedang dalam usahanya membangun sendi-sendi perekonomian negara. Di tengaah-tengah keadaan tersebut, telah berkembang pemikiran dalam masyarakat mengenai suatu ketidakpastian mengenai aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Adanya kesadaran akan resiko-resiko yang dapat secara kebetulan menimpa dirinya. Mungkin saja suatu saat seseorang meninggal karena kecelakaan. Bagaimana nasibnya? Bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkannya? Atau dengan perusahaan pengiriman barang yang mengalami kecelakaan dimana barang kirimannya rusak di tengah pengiriman. Hal-hal semacam ini jelas sangat merugikan. Di tengah keadaan inilah maka kegiatan asuransi mengambil tempat dan fungsi penanggung dari ketakutan-ketakutan yang terjadi di atas.




Dengan keadaan yang seperti itu, asuransi mengambil peran sebagai penanggung resiko dari para pihak yang mengkhawatirkan hal itu. Dengan keadaan tersebut terjadilah perjanjian pertanggungan. Perjanjian pertanggungan itu sendiri merupakan bentuk perjanjian timbal balik yang senilai, dimana kedua belah pihak masing-masing mempunyai kewajiban untuk membayar premi yang besarnya ditentukan oleh penanggung. Konsekuensinya maka penanggung itu sendiri berkewajiban untuk mengganti kerugian yang diderita oleh tergantung.

Pertanggungan adalah perjanjian timbal balik antara penanggung dan penutup asuransi, dimana penanggung mengikatkan diri untuk mengganti kerugian dan/atau membayar sejumlah uang (santunan) yang ditetapkan pada penutup perjanjian, kepada penutup asuransi atau orang lain yang ditunjuk, pada waktu terjadinya evenement, sedangkan penutup asuransi mengikatkan diri untuk membayar uang premi
Dengan kondisi itu maka asuransi mengambil peran yang menjanjikan bagi para konsumen untuk menanggung segala resiko yang dapat terjadi pada tertanggung. Namun dalam perkembangannya, perusahaan asuransi melakukan hal-hal yang tidak diinginkan tertanggung.
II. LEGAL STANDING
Asuransi merupakan suatu bentuk usaha yang telah memiliki cikal bakal yang sudah sangat panjang, bahkan sebelum masehi. Pada zaman Yunani (356-323 BC), seorang pembantu Alexander yakni Antimenes melakukan tindakan sejenis asuransi, yakni ia mengumumkan kepada pemilik budak untuk mendaftarkan budak-budaknya dan membayar sejumlah uang padanya setiap tahun, dan menjanjikan kepada pendaftar untuk menangkap budak yang melarikan diri1. Dari hal itu, dunia asuransi kemudian berkembang dengan gilde di Inggris pada abad pertengahan, hingga Wetboek van Koophandel yang berlaku di Belanda pada tahun 1906[1], hingga akhirnya berlaku Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian di Indonesia.
Dalam perjanjian asuransi, terdapat dua buah pihak, yakni tertanggung dengan penanggung. Dengan perjanjian asuransi keduanya memiliki kewajibannya masing-masing dan haknya masing-masing. Pihak tertanggung harus membayar sejumlah uang tertentu berdasarkan perjanjian kepada pihak penanggung sebagai syarat bahwa pihak tertanggung akan bertanggung jawab jika terjadi evenemen yang yang mennimbulkan kerugian bagi tertanggung. Maka tertanggung berhak mengklaim ganti kerugian pada penanggung.
Namun, dalam perkembangannya pihak penanggung tidak selalu dapat membayar klaim ganti rugi yang diajukan oleh tertanggung yang mengalami evenemen. Hal ini menjadi sebuah masalah yang sering dijumpai pada nasabah-nasabah perusahaan asuransi sebagai pihak tertanggung. Dengan fenomena ini penulis ingin melihat apa yang menyebabkannya, dan apa langkah hukum yang dapat diambil oleh pihak tertanggung?
III. ANALISA
Asuransi telah lama hidup dalam sistem hukum di Indonesia, dimulai dari pemberlakuan Wetboek van Koophandel yang diberlakukan melalui asas konkordansi melalui Staatsblad No.23 Thun 1847, kemudian berkembang hingga adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian. Selain itu juga hal-hal mengenai asuransi diatur lebih lanjut mengenai Peraturan Pemerintah juga dari Keputusan Menteri Keuangan yang berkaitan, seperti Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian dan Perusahaan Reasuransi.
Adapun Asuransi berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dalam menjalankan usaha asuransi, sering kali orang salah menafsirkan bahwa asuransi adalah usaha yang identik dengan perbuatan untung-untungan. Pihak asuransi mengalami keuntungan jika pihak tertanggung telah membayar premi selama waktu tertentu, tanpa mengalami evenemen (kejadian tidak pasti) yang merugikan tertanggung, Tetapi jika evenemen terjadi sebelum waktu tertentu, maka pihak asuransi mengalami kerugian. Tapi pada kenyatannya, perjanjian asuransi bukanlah suatu jenis perbuatan untung-untungan. Hal ini dikarenakan pada perbuatan untung-untungan digantungkan pada prestasi yang tidak seimbang.[2]
Oleh karena kegiatan asuransi memiliki resiko yang amat besar, maka pemerintah menerapkan metode Risk Based Capital yang dapat kita temui dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi (“Kepmenkeu 424/2003”). Khususnya dalam Pasal 2 Kepmenkeu 424/2003 diatur mengenai batasan tingkat solvabilitas yakni:
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi setiap saat wajib memenuhi tingkat solvabilitas paling sedikit 120 % (seratus dua puluh perseratus) dari risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban.
(2)     Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang tidak memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), namun memilki tingkat solvabilitas paling sedikit 100% (seratus perseratus), diberikan kesempatan melakukan penyesuaian dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi ketentiuan tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Dengan peraturan ini maka diharapkan kegiatan perasuransian selalu dapat berjalan dengan baik sehingga selalu dapat menjalani kewajibannya.
 Namun dalam kenyataannya, pihak penanggung tidak selalu dapat membayar klaim yang dapat diberikan pada tertanggung atau dapt saja ia. Mengenai larangan keterlambatan pembayaran klaim asuransi kita temui pengaturannya dalam Pasal 23 ayat (1) PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (“PP 73/1992”) yang berbunyi:
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan, yang seharusnya dilakukan yang dapat mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau pembayaran klaim.
Hal ini menegaskan kembali hak tertanggung yang tak boleh dilanggar oleh pihak penanggung. Jangka waktu pembayaran klaim asuransi sendiri kemudian diatur dalam Pasal 27 Keputusan Menteri Keuangan No. 422/KMK.06/2003 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi yang menyatakan bahwa pihak penanggung harus membayar klaim minimal 30 hari setelah pihak tertanggung dan penanggung menyepakati mengenai kepastian jumlah klaim yang akan dibayar.
Dengan peraturan diatas, maka pemerintah telah jelas mengatur ketentuan yang harus dipenuhi pihak penanggung demi kepastian hukum perjanjian asuransi antara tertanggung dengan pihak penanggung. Maka jika prosedur pengajuan klaim telah terpenuhi dan masing-masing telah menyapakati jumlah klaim, maka tak ada alasan bagi pihak penanggung untuk tidak membayar klaim.
Namun bagaimana jika klaim yang diajukan oleh pihak tertanggung tidak dapat dibayar? Apakah ada upaya hukum yang dapat dilakukan? PP Nomor 73 Tahun 1992, pasal 37 hanya memberikan sanksi yang bersifat administratif yakni sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha, dan sanksi pencabutan izin usaha. Tidak terdapat sanksi pidana dalam PP tersebut hingga, pihak tertanggung hanya dapat mengajukan tindakan berupa gugatan kepada Pihak penanggung. Gugatan ini berdasarkan wanprestasi perjanjian asuransi yang dilakukan antara pihak tertanggung dngan pihak penanggung.
Namun dalam hal ini maka sebaiknya harus diadakan somasi dulu terhadap pihak penanggung. Seperti dalam Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum Perdata diatur bahwa tuntutan atas wanprestasi suatu perjanjian hanya dapat dilakukan apabila si berutang telah diberi peringatan bahwa ia melalaikan kewajibannya, namun kemudian ia tetap melalaikannya. Peringatan ini dilakukan secara tertulis, yang kemudian dikenal sebagai somasi.
IV. KESIMPULAN
Kegiatan asuransi memang merupakan bentuk perjanjian yang marak akhir-akhir ini. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk perjanjian yang terjadi antara tertanggung dengan pihak penanggung. Dengan adanya perjanjian Asuransi maka antara kedua pihak, harus menepati syarat-syarat perjanjian ( Pancta sunt servanda ). Para pihak tertanggung harus membayar uang premi yang telah ditentukan besarnya. Para pihak penanggung juga harus bersedia membayar uang klaim jika pihak tertanggung, jika nyatanya ia mengalami evenemen. Dan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) PP No. 73 Tahun 1992 maka diwajibkan bagi pihak penanggung untuk tidak mencoba memperlambat dan menghalangi tertanggung untuk mendapatkan haknya akan ganti rugi. Oleh karena itu tidak akan menjadi masalah jika terjadi sesuai antara perjanjian asuransi.
Namun jika klaim yang diajukan oeh pihak tertanggung nyatanya tidak terpenuhi, maka dapat dilakukan beberapa upaya. Salah satunya somasi, yakni berupa teguran tertulis kepada pihak penanggung. Namun jika tiada jalan untuk melakukan somasi, maaka haruslah dilakukan upaya hukum, yakni gugatan terhadap pihak penanggung ke pengadilan negeri setempat atas dasar wanprestasi.
Selain itu juga perlu diatur lebih lanjut lagi dalam dunia asuransi, untuk merumuskan kembali sebuah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai asuransi dan penyelenggaraan asuransi dimana undang-undang yang terdahulu telah berumur 10 tahun sehingga diperlukan pembaharuan agar lebih relevan lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Mertokusumo, Sudikno. 2003, Mengenal Hukum. Liberty. Yogyakarta.
Muhamad, Abdulkadir. 1999. Hukum Asuransi Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung
Prodjodikoro, Wirjono. 1987. Hukum Asuransi di Indonesia. Intermasa. Jakarta
Subekti. 1985. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pradnya Paramita. Jakarta







[1] Abdulkadir Muhammad. 1994. Hukum Asuransi Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm 1-4
[2] Abdulkadir Muhammad. 1994. Hukum Asuransi Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm 16

0 komentar:

Posting Komentar