Oleh : Benyamin A M Siburian
I.
PENDAHULUAN
Indonesia
merupakan sebuah negara berkembang yang sedang dalam usahanya membangun
sendi-sendi perekonomian negara. Di tengaah-tengah keadaan tersebut, telah
berkembang pemikiran dalam masyarakat mengenai suatu ketidakpastian mengenai
aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Adanya kesadaran akan resiko-resiko yang
dapat secara kebetulan menimpa dirinya. Mungkin saja suatu saat seseorang
meninggal karena kecelakaan. Bagaimana nasibnya? Bagaimana dengan keluarga yang
ditinggalkannya? Atau dengan perusahaan pengiriman barang yang mengalami
kecelakaan dimana barang kirimannya rusak di tengah pengiriman. Hal-hal semacam
ini jelas sangat merugikan. Di tengah keadaan inilah maka kegiatan asuransi
mengambil tempat dan fungsi penanggung dari ketakutan-ketakutan yang terjadi di
atas.
Dengan
keadaan yang seperti itu, asuransi mengambil peran sebagai penanggung resiko
dari para pihak yang mengkhawatirkan hal itu. Dengan keadaan tersebut
terjadilah perjanjian pertanggungan. Perjanjian pertanggungan itu sendiri
merupakan bentuk perjanjian timbal balik yang senilai, dimana kedua belah pihak
masing-masing mempunyai kewajiban untuk membayar premi yang besarnya ditentukan
oleh penanggung. Konsekuensinya maka penanggung itu sendiri berkewajiban untuk
mengganti kerugian yang diderita oleh tergantung.
Pertanggungan
adalah perjanjian timbal balik antara penanggung dan penutup asuransi, dimana
penanggung mengikatkan diri untuk mengganti kerugian dan/atau membayar sejumlah
uang (santunan) yang ditetapkan pada penutup perjanjian, kepada penutup
asuransi atau orang lain yang ditunjuk, pada waktu terjadinya evenement,
sedangkan penutup asuransi mengikatkan diri untuk membayar uang premi
Dengan
kondisi itu maka asuransi mengambil peran yang menjanjikan bagi para konsumen
untuk menanggung segala resiko yang dapat terjadi pada tertanggung. Namun dalam
perkembangannya, perusahaan asuransi melakukan hal-hal yang tidak diinginkan
tertanggung.
II. LEGAL STANDING
Asuransi
merupakan suatu bentuk usaha yang telah memiliki cikal bakal yang sudah sangat
panjang, bahkan sebelum masehi. Pada zaman Yunani (356-323 BC), seorang
pembantu Alexander yakni Antimenes melakukan tindakan sejenis asuransi, yakni
ia mengumumkan kepada pemilik budak untuk mendaftarkan budak-budaknya dan membayar
sejumlah uang padanya setiap tahun, dan menjanjikan kepada pendaftar untuk
menangkap budak yang melarikan diri1. Dari hal itu, dunia asuransi
kemudian berkembang dengan gilde di
Inggris pada abad pertengahan, hingga Wetboek
van Koophandel yang berlaku di Belanda pada tahun 1906[1], hingga akhirnya berlaku
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian di Indonesia.
Dalam
perjanjian asuransi, terdapat dua buah pihak, yakni tertanggung dengan
penanggung. Dengan perjanjian asuransi keduanya memiliki kewajibannya
masing-masing dan haknya masing-masing. Pihak tertanggung harus membayar
sejumlah uang tertentu berdasarkan perjanjian kepada pihak penanggung sebagai
syarat bahwa pihak tertanggung akan bertanggung jawab jika terjadi evenemen
yang yang mennimbulkan kerugian bagi tertanggung. Maka tertanggung berhak
mengklaim ganti kerugian pada penanggung.
Namun,
dalam perkembangannya pihak penanggung tidak selalu dapat membayar klaim ganti
rugi yang diajukan oleh tertanggung yang mengalami evenemen. Hal ini menjadi
sebuah masalah yang sering dijumpai pada nasabah-nasabah perusahaan asuransi
sebagai pihak tertanggung. Dengan fenomena ini penulis ingin melihat apa yang
menyebabkannya, dan apa langkah hukum yang dapat diambil oleh pihak
tertanggung?
III. ANALISA
Asuransi
telah lama hidup dalam sistem hukum di Indonesia, dimulai dari pemberlakuan Wetboek
van Koophandel yang diberlakukan melalui asas konkordansi melalui Staatsblad
No.23 Thun 1847, kemudian berkembang hingga adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1992 tentang usaha perasuransian. Selain itu juga hal-hal mengenai asuransi
diatur lebih lanjut mengenai Peraturan Pemerintah juga dari Keputusan Menteri
Keuangan yang berkaitan, seperti Keputusan Menteri Keuangan Nomor
422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian dan Perusahaan
Reasuransi.
Adapun
Asuransi berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha
perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga
yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang
tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal
atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dalam
menjalankan usaha asuransi, sering kali orang salah menafsirkan bahwa asuransi
adalah usaha yang identik dengan perbuatan untung-untungan. Pihak asuransi
mengalami keuntungan jika pihak tertanggung telah membayar premi selama waktu
tertentu, tanpa mengalami evenemen (kejadian tidak pasti) yang merugikan
tertanggung, Tetapi jika evenemen terjadi sebelum waktu tertentu, maka pihak
asuransi mengalami kerugian. Tapi pada kenyatannya, perjanjian asuransi
bukanlah suatu jenis perbuatan untung-untungan. Hal ini dikarenakan pada
perbuatan untung-untungan digantungkan pada prestasi yang tidak seimbang.[2]
Oleh
karena kegiatan asuransi memiliki resiko yang amat besar, maka pemerintah
menerapkan metode
Risk Based Capital yang dapat kita temui dalam Keputusan Menteri
Keuangan No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi (“Kepmenkeu 424/2003”). Khususnya dalam Pasal 2 Kepmenkeu
424/2003 diatur mengenai batasan tingkat solvabilitas yakni:
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
setiap saat wajib memenuhi tingkat solvabilitas paling sedikit
120 % (seratus dua puluh perseratus) dari risiko kerugian yang mungkin
timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban.
(2) Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi yang tidak memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), namun memilki tingkat solvabilitas paling
sedikit 100% (seratus perseratus), diberikan kesempatan melakukan penyesuaian
dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi ketentiuan tingkat solvabilitas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Dengan
peraturan ini maka diharapkan kegiatan perasuransian selalu dapat berjalan
dengan baik sehingga selalu dapat menjalani kewajibannya.
Namun
dalam kenyataannya, pihak penanggung tidak selalu dapat membayar klaim yang
dapat diberikan pada tertanggung atau dapt saja ia. Mengenai larangan
keterlambatan pembayaran klaim asuransi kita temui pengaturannya dalam Pasal 23
ayat (1) PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (“PP
73/1992”) yang berbunyi:
“Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan tindakan yang dapat
memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan,
yang seharusnya dilakukan yang dapat mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau
pembayaran klaim.”
Hal
ini menegaskan kembali hak tertanggung yang tak boleh dilanggar oleh pihak
penanggung. Jangka waktu pembayaran klaim asuransi sendiri kemudian diatur
dalam Pasal 27 Keputusan Menteri Keuangan No. 422/KMK.06/2003 Tahun 2003
tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi
yang menyatakan bahwa pihak penanggung harus membayar klaim minimal 30 hari
setelah pihak tertanggung dan penanggung menyepakati mengenai kepastian jumlah
klaim yang akan dibayar.
Dengan
peraturan diatas, maka pemerintah telah jelas mengatur ketentuan yang harus
dipenuhi pihak penanggung demi kepastian hukum perjanjian asuransi antara
tertanggung dengan pihak penanggung. Maka jika prosedur pengajuan klaim telah
terpenuhi dan masing-masing telah menyapakati jumlah klaim, maka tak ada alasan
bagi pihak penanggung untuk tidak membayar klaim.
Namun
bagaimana jika klaim yang diajukan oleh pihak tertanggung tidak dapat dibayar?
Apakah ada upaya hukum yang dapat dilakukan? PP Nomor 73 Tahun 1992, pasal 37
hanya memberikan sanksi yang bersifat administratif yakni sanksi peringatan,
sanksi pembatasan kegiatan usaha, dan sanksi pencabutan izin usaha. Tidak
terdapat sanksi pidana dalam PP tersebut hingga, pihak tertanggung hanya dapat
mengajukan tindakan berupa gugatan kepada Pihak penanggung. Gugatan ini
berdasarkan wanprestasi perjanjian asuransi yang dilakukan antara pihak
tertanggung dngan pihak penanggung.
Namun
dalam hal ini maka sebaiknya harus diadakan somasi dulu terhadap pihak
penanggung. Seperti
dalam Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum Perdata diatur bahwa tuntutan atas
wanprestasi suatu perjanjian hanya dapat dilakukan apabila si berutang telah
diberi peringatan bahwa ia melalaikan kewajibannya, namun kemudian ia tetap
melalaikannya. Peringatan ini dilakukan secara tertulis, yang kemudian dikenal
sebagai somasi.
IV. KESIMPULAN
Kegiatan
asuransi memang merupakan bentuk perjanjian yang marak akhir-akhir ini.
Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk perjanjian yang terjadi antara
tertanggung dengan pihak penanggung. Dengan adanya perjanjian Asuransi maka
antara kedua pihak, harus menepati syarat-syarat perjanjian ( Pancta sunt servanda ). Para pihak
tertanggung harus membayar uang premi yang telah ditentukan besarnya. Para
pihak penanggung juga harus bersedia membayar uang klaim jika pihak
tertanggung, jika nyatanya ia mengalami evenemen. Dan berdasarkan Pasal 23 ayat
(1) PP No. 73 Tahun 1992 maka diwajibkan bagi pihak penanggung untuk tidak
mencoba memperlambat dan menghalangi tertanggung untuk mendapatkan haknya akan
ganti rugi. Oleh karena itu tidak akan menjadi masalah jika terjadi sesuai
antara perjanjian asuransi.
Namun
jika klaim yang diajukan oeh pihak tertanggung nyatanya tidak terpenuhi, maka
dapat dilakukan beberapa upaya. Salah satunya somasi, yakni berupa teguran
tertulis kepada pihak penanggung. Namun jika tiada jalan untuk melakukan
somasi, maaka haruslah dilakukan upaya hukum, yakni gugatan terhadap pihak
penanggung ke pengadilan negeri setempat atas dasar wanprestasi.
Selain
itu juga perlu diatur lebih lanjut lagi dalam dunia asuransi, untuk merumuskan
kembali sebuah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai asuransi dan
penyelenggaraan asuransi dimana undang-undang yang terdahulu telah berumur 10
tahun sehingga diperlukan pembaharuan agar lebih relevan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Mertokusumo,
Sudikno. 2003, Mengenal Hukum. Liberty.
Yogyakarta.
Muhamad,
Abdulkadir. 1999. Hukum Asuransi
Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung
Prodjodikoro,
Wirjono. 1987. Hukum Asuransi di
Indonesia. Intermasa. Jakarta
Subekti.
1985. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pradnya
Paramita. Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar