Kamis, 25 April 2013

Kebebasan Pers yang “Kebablasan”


Siaran Langsung Persidangan di Televisi,
Kebebasan Pers yang “Kebablasan”
Oleh
Gunardi Lumbantoruan

Kebebasan pers dan Hak Azasi setiap warga Negara Indonesia memang telah dijamin oleh Pasal 28, pasal 28 A hingga Pasal 28 I Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun perlu diketahui bahwa kebebasan di Indonesia bukanlah kebebasan tanpa batas. Pasal 28 J ayat 2 jelas mengatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Melihat fenomena akhir-akhir ini dimana media pertelevisian Indonesia kerap kali menyiarkan persidangan secara live, maka saya merasa perlu untuk melakukan kajian sederhana, terkait dengan patut atau tidaknya persidangan disiarkan secara Live di televisi.
Adalah Pasal 28 F Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjadi cikal bakal dari lahirnya Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Peraturan tersebut menjadi payung hukum dalam menjamin bebasan pers di Indonesia. Kebebasan Pers saat ini merupakan hasil dari reformasi yang pelopori oleh mahasiswa untuk menumbangkan rezim Orba. Jujur, saya akui bahwa kebebasan Pers di negara ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan zaman Orde Baru dahulu, kita patut berbangga untuk itu. Namun dibalik kebanggaan itu, ada satu hal yang perlu dikritisi, yakni terkait pengaturan agar kebebasan tersebut tidak sampai kelewat batas atau kebablasan. Fenomena penyiaran persidangan secara langsung seolah menggambarkan bahwa Kebebasan Pers di Indonesia adalah kebebasan Pers tanpa batas. Bayangkan, suatu persidangan disiarkan secara langsung dan lengkap dengan komentatornya, seperti pertandingan sepak bola. Hal ini menurut saya telah menabrak asas-asas dalam persidangan dan sekaligus menginjak-injak wibawa persidangan, oleh karena itu saya sangat menolak hal ini. Berikut saya menyampaikan beberapa alasan mengapa saya Menolak Penyiaran Persidangan secara Live oleh media televisi:

1.     Melanggar Pasal 153 ayat 5 KUHAP
Pasal 153 ayat 3 KUHAP memang menyatakan bahwa ketua sidang membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Sekilas hal ini memang membenarkan fenomena penyiaran persidangan secara live dengan tujuan agar persidangan lebih terbuka untuk umum. Namun perlu kita cermati isi dari Pasal 153 ayat 5 KUHAP yang menyatakan bahwa Anak belum mencapai umur 17 tahun tidak diperkenankan menghadiri siding. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa tujuan dilarangnya anak yang masih di bawah umur untuk mengikuti jalannya persidangan adalah untuk menjaga agar anak tidak terpengaruh oleh perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, lebih-lebih dalam perkara kejahatan berat, maka hakim dapat menentukan bahwa anak di bawah umur 17 tahun, kecuali yang telah atau pernah kawin, tidak boleh mengikuti siding.
Hal ini jelas sangat berbeda dengan apa yang terjadi jika persidangan disiarkan secara Live di televisi yang notabene nya dapat ditonton oleh seluruh lapisan masyarakat dari berbagai usia. Mulai dari anak sekolah SD dan SMP, anak belum dewasa, balita, bahkan bayi dalam kandungan dapat menyaksikan persidangan tersebut. Hakim yang semula diharapkan mencegah terjadinya hal ini sekarang tiada mungkin dapat melarang siapa-siapa saja yang tidak boleh menyaksikan siaran live persidangan tersebut, karena memang ia tidak dapat menjangkau hal itu.
Berdasarkan uraian tersebut di atas tentunya sudah sangat jelas bahwa penyiaran persidangan secara langsung oleh media televisi telah melanggar pasal 153 ayat 5 KUHAP yang secara terang-terangan melarang anak-anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk dapat menyaksikan persidangan. Disamping itu, menurut saya penyiaran persidangan secara langsung oleh media televisi juga sangat berbahaya bagi generasi muda bangsa ini, karena akan semakin terbanalisasikan pikirannya akan suatu kejahatan, baik itu tindak pidana korupsi atapun kejahatan lain yang disiarkan secara live oleh media televisi, Hal ini akan menyebabkan anak-anak beranggapan bahwa kejahatan-kejahatan luar biasa itu adalah suatu kelaziman baginya.

2.     Pembentukan Opini Publik yang Tidak Sehat
Saya menilai dengan disiarkannya persidangan secara langsung lengkap dengan komentatornya, secara natural dapat membentuk opini publik yang tidak sehat. “Kenapa tidak sehat ?”, Hal ini karena analisia-analisia yang disampaikan oleh komentator tersebut biasanya sangat subyektif dan selalu berusaha mendahului putusan hakim. Sebagai contoh jika pihak dari ICW yang diminta menjadi komentator atas suatu kasus korupsi maka otomatis ia akan menelanjangi habis si terdakwa di depan publik dan mengatakan bahwa terdakwa sudah pasti bersalah dan patut dihukum berat, hal ini tentunya akan membentuk pola pikir masyarakat yang pragmatis, yang akan sangat menciderai asas Presumption of Innocent. Sebaliknya jika pengacara terdakwa yang menjadi komentator maka ia akan mengungkapkan dalil-dalil nya sebagai pembelaan untuk menyatakan terdakwa tidak bersalah bahkan terkadang sedapat mungkin memposisikan terdakwa seolah-olah sebagai korban dari suatu konspirasi, hal ini jelas dapat menyebabkan pembentukan opini publik yang tidak sehat
Selain itu, televisi biasanya menyiarkan persidangan secara sepenggal-sepenggal, hal ini karena adanya iklan atau hal lain yang membuat ada fakta persidangan yang tak diketahui oleh penonton, hal ini tentu dapat menyebabkan kesesatan pemahaman penonton terkait kebenaran materil dari suatu perkara yang dapat menyebabkan pembentukan opini publik yang tidak sehat.

3.     Konflik Batin Hakim, “Antara Legal Justice atau Social Justice”
Pasal 24 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Merdeka maksudnya bebas dari intervensi pihak luar, artinya ketika Hakim menjalankan tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tidak boleh dicampuri oleh pihak lain. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya hendaknya hakim dihindarkan dari faktor-faktor yang dapat mengancam kemandiriannya.
Mantan Hakim Agung Abdul Gani Abdullah mengatakan bahwa politik hukum sering dipengaruhi opini publik. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa politik hukum yang dibangun lebih banyak pada opini publik bisa berbahaya. Apalagi jika opini publik itu dijadikan landasan pengambilan keputusan oleh majelis hakim. Contohnya adalah tekanan terhadap majelis hakim berupa demonstrasi dan berteriak-teriak di ruang sidang atau di luar gedung persidangan.
Jika hal ini dihubungkan dengan fenomena penyiaran persidangan yang jelas-jelas telah membentuk opini publik yang mendahului putusan hakim yang dapat menstimulasi masyarakat untuk berdemonstrasi agar seorang terdakwa divonis bebas, maka hal ini akan menimbulkan dilema yang luar biasa besar bagi hakim dalam memutus perkara. Di satu sisi ia akan tertekan dengan Opini publik yang lebih menekankan pada social Justice, sementara di sisi lain ia berkewajiban untuk menegakkan hukum yang lebih menekankan pada legal Justice.

4.        Mencederai Hak Privasi Para Pihak
Pasal 17 Undang-undang No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) mengatakan bahwa Tidak boleh seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat-menyuratnya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya. Terkait dengan asas terbukanya persidangan untuk umum, maka perlu dicermati bahwa meski sidang dinyatakan terbuka untuk umum, namun keterbukaan itu lebih ditekankan bagi pihak-pihak yang berkepentingan secara langsung, yakni orang yang datang ke pengadilan. Hal ini karena dalam persidangan kerap kali muncul informasi yang sifatnya privasi bagi pihak-pihak yang berperkara yang memang tidak untuk konsumsi publik. Tentunya adalah hal yang lazim jika informasi yang bersifat privasi tersebut diketahui oleh pengunjung sidang, karena memang mereka berkepentingan untuk hal itu dan memang mereka tidak dilarang untuk mengikuti jalannya persidangan. Yang jadi masalah adalah ketika persidangan disiarkan secara langsung di televisi, maka informasi yang sifatnya privasi tadi menjadi menyebar luas dari Miangas sampai Pulau Rote. Hal ini tentu akan menciderai hak-hak privasi dari para pihak yang berperkara, terutama terdakwa dan saksi yang memang dimintai keterangannya dalam persidangan. Oleh karena itu  untuk menjamin tidak terciderainya hak-hak privasi yang telah dijamin oleh pasal 17 Undang-undang No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) tersebut maka hendaknya persidangan tidak disiarkan secara langsung oleh media televisi.
Selain itu fenomena penyiaran persidangan secara langsung ini juga melanggar Standar Program Siaran (SPS) KPI yang menjadi pedoman perilaku penyiaran di Indonesia, yang secara eksplisit pada Pasal 13  mengatakan bahwa Lembaga penyiaran wajib menghormati hak privasi seseorang dalam memproduksi dan/atau menyiarkan suatu program siaran, baik siaran langsung maupun siaran tidak langsung.

5.     Pelanggaran Terhadap Undang-undang Penyiaran
Pasal 36 ayat 5 huruf a Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengatakan bahwa isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong. Apabila hal ini kita kaitkan dengan fenomena penyiaran persidangan secara langsung yang dengan sepotong-sepotong dan disertai dengan subjektivitas komentatornya, yang memang telah jelas-jelas dapat membentuk opini publik yang tidak sehat dan bahkan mengandung unsur menghasut dan menyesatkan, maka penyiaran persidangan secara langsung ini sebaiknya tidak dilakukan lagi, karena memang melanggar pasal 36 ayat 5 huruf a tersebut.

6.     Perbandingan Kebebasan Pers
Organisasi pers dunia “Reporters Without Borders” (RSF) meranking indeks kebebasan pers Indonesia di peringkat 139 dengan skor 41,05.  Hal ini tentunya patut disambut baik oleh masyarakat karena memang mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Namun dibalik prestasi tersebut, ada fenomena keleluasaan Pers Indonesia untuk dapat meliput persidangan secara langsung yang memang menjadi hal yang sangat unik dan sekaligus aneh. Negara yang belum seberapa kedewasaan berdemokrasinya ini seolah ingin menyuarakan bahwa di Indonesia Kebebasan Pers itu sangat terjamin. Padahal sejumlah kasus pelanggaran terhadap jurnalis masih saja terus terjadi, mungkin kita juga masih ingat insiden pemukulan Fotografer Riau Pos Didik Herawanto; wartawan Antara Rian Anggoro; kamerawan RTV Robbi; dan kamerawan TV One Ari oleh oknum TNI AU pada saat jatuhnya pesawat Hawk 200 di Perumahan Pandau, Pasir Putih, Kabupaten Kampar, Riau. Hal tentu menimbulkan pertanyaan, apakah kebebasan pers dalam meliput persidangan itu by Planning atau by accident.
Amerika Serikat sendiri sebagai negara demokrasi terbesar di dunia melarang peliputan persidangan, bahkan membawa kamera ke dalam persidangan pun dilarang, dari 50 negara bagian, hanya negara bagian Minessota saja yang membolehkan menyiarkan persidangan, tetapi itupun dibatasi hanya untuk televisi kabel atau televisi berlangganan, hal ini dilakukan dengan alasan menjaga indepedensi hakim dan asas praduga tidak bersalah.
Sementara Inggris hanya memperbolehkan Live Tweet dari ruang sidang. Namun hakim membatasi penggunaan Live Tweet hanya untuk kebutuhan jurnalistik dan melarang penggunaannya oleh masyarakat umum dalam persidangan. Tidak seperti di Indonesia, peliputan persidangan di Inggris sangat terbatas. Pengambilan gambar, baik foto atau video, sepenuhnya dilarang. Sedangkan rekaman suara hanya dibolehkan pada kondisi tertentu saja.

Atas dasar beberapa pertimbangan tersebut di atas, maka seharusnya Pemerintah Indonesia melarang adanya peliputan persidangan, terlebih secara live. Menurut hemat saya pelarangan ini dapat dilakukan oleh KPI atau oleh Mahkamah Agung, atau opsi yang lebih baik adalah dengan membuat undang-undang untuk mengaturn hal tersebut.

#MENOLAK Siaran Langsung Persidangan di Televisi !!!!!!!
#MENOLAK Siaran Langsung Persidangan di Televisi !!!!!!!
#MENOLAK Siaran Langsung Persidangan di Televisi !!!!!!!