Minggu, 14 Oktober 2012

Model Finansial Arsenal

By : Benhan Gooners
Sebelum era Roman Abramovich di Chelsea, klub-klub di Premier League hanya punya satu model finansial, yaitu model Arsenal. Model ini adalah menjalankan klub dengan tujuan tidak bangkrut, bisa exist untuk jangka panjang, dengan cara mendapatkan profit atau setidaknya break-even setiap tahunnya dan terus mengembangkan pendapatan. Prestasi di liga menjadi jaminan agar finansial klub bisa terus berkembang bukan sebaliknya: menjalankan klub dengan tujuan dapat trofi di liga tapi finansial klub merah dan klub terancam bangkrut. Model finansial Arsenal mengharuskan klub hidup mandiri artinya pendapatan klub digunakan untuk pengeluaran klub. Tidak ada sumber pengeluaran lain selain dari pendapatan dan utang. Utang klub dikelola dengan baik, setiap tahun cicilan utang harus bisa dibayar. Demikianlah model finansial Arsenal, MU dan klub-klub bola lainnya yang tidak berbeda dengan sebuah perusahaan yang sehat.
Yang menjadi anomali adalah Chelsea dan Manchester City karena kedua klub ini mengadopsi model finansial yang berbeda. Setiap tahun kedua klub ini merugi, karena membeli pemain dengan harga mahal dan gaji tinggi demi prestasi. Kerugian klub ditutup dengan uang pribadi pemiliknya. Kedua klub ini dibiayai oleh milyuner yang tidak sayang uangnya dibuang setiap tahunnya, demi trofi dan gengsi. Milyuner yang “dermawan” ini kita sebut Sugar Daddy, sebutan slang untuk om-om yang memberikan permen gratis ke anak muda dengan imbalan kepuasan seksual. Analogi Sugar Daddy ini cukup akurat mengingat Roman Abramovich telah memberikan Chelsea “trofi gratis”, dan imbalannya ia mendapatkan kenikmatan yang mungkin setara dengan kepuasan seksual. Maka tak heran kalau Roman gemar masuk kamar ganti pemain Chelsea, mengintervensi pekerjaan Manajer, dan ikut menentukan pemain mana yang harus dibelinya.