By : Benhan Gooners
Sebelum era Roman Abramovich di Chelsea, klub-klub di
Premier League hanya punya satu model finansial, yaitu model Arsenal.
Model ini adalah menjalankan
klub dengan tujuan tidak bangkrut, bisa exist untuk jangka panjang, dengan cara
mendapatkan profit atau setidaknya break-even setiap tahunnya dan terus
mengembangkan pendapatan. Prestasi di liga menjadi jaminan agar finansial klub
bisa terus berkembang bukan sebaliknya: menjalankan klub dengan tujuan dapat
trofi di liga tapi finansial klub merah dan klub terancam bangkrut. Model
finansial Arsenal mengharuskan klub hidup mandiri artinya pendapatan klub
digunakan untuk pengeluaran klub. Tidak ada sumber pengeluaran lain selain dari
pendapatan dan utang. Utang klub dikelola dengan baik, setiap tahun cicilan
utang harus bisa dibayar. Demikianlah model finansial Arsenal, MU dan klub-klub
bola lainnya yang tidak berbeda dengan sebuah perusahaan yang sehat.
Yang menjadi anomali adalah Chelsea dan Manchester City
karena kedua klub ini mengadopsi model finansial yang berbeda. Setiap tahun
kedua klub ini merugi, karena membeli pemain dengan harga mahal dan gaji tinggi
demi prestasi. Kerugian klub ditutup dengan uang pribadi pemiliknya. Kedua klub
ini dibiayai oleh milyuner yang tidak sayang uangnya dibuang setiap tahunnya,
demi trofi dan gengsi. Milyuner yang “dermawan” ini kita sebut Sugar
Daddy, sebutan slang untuk om-om yang memberikan permen gratis
ke anak muda dengan imbalan kepuasan seksual. Analogi Sugar Daddy ini cukup
akurat mengingat Roman Abramovich telah memberikan Chelsea “trofi gratis”, dan
imbalannya ia mendapatkan kenikmatan yang mungkin setara dengan kepuasan
seksual. Maka tak heran kalau Roman gemar masuk kamar ganti pemain Chelsea,
mengintervensi pekerjaan Manajer, dan ikut menentukan pemain mana yang harus
dibelinya.