Oleh : Gunardi Lumbantoruan
BAB
1
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Kearifan
lokal masyarakat hukum adat sebagai perwujudan nilai-nilai dan pandangan-pandangan setempat yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, serta diwariskan secara turun temurun, dapat menjaga hubungan yang harmonis
antara masyarakat hukum adat dengan lingkungan. Salah satu cerminan dari
hubungan yang harmonis itu tercermin dengan perilaku masyarakat hukum adat dalam
melindungi hutan dari penebangan secara liar (illegal logging), kebakaran hutan, eksploitasi
berlebihan, dan kegiatan lain yang dapat
merusak hutan.
Taman Nasional Batang Gadis Sumatera Utara merupakan
salah satu contoh hutan yang dikelola berdasarkan kearifan lokal masyarakat
hukum adat. Secara tradisional dan turun-temurun masyarakat hukum adat mandailing natal telah melindungi hutan alam dan
sumber air serta memanfaatkan sumberdaya alam secara bijaksana. Kearifan lokal
masyarakat hukum adat mandailing natal tersebut dikenal dengan istilah harangan
rarangan atau naborgo-borgo, lubuk larangan, dan bahasa daun. Masyarakat hukum
adat mandailing natal percaya bahwa dengan kearifan lokal tersebut mereka dapat
menyelamatkan hutan alam yang masih tersisa dan relatif utuh di Provinsi
Sumatera Utara agar dapat mendatangkan manfaat jangka panjang bagi masyarakat
setempat dan pemerintah daerah.
Menteri
Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan bahwa saat ini luas hutan kritis di
Indonesia mencapai 40 juta hektar dengan laju deforestasi hutan sebesar 600
ribu hektar per tahun, untuk mengatasi hal ini maka beliau merencanakan bahwa
kedepannya lahan
kritis harus dikelola rakyat indonesia.[1] Dengan konsep pengeloalaan
hutan seperti itu, maka kearifan lokal sebagai salah satu cara pengelolaan
hutan menjadi hal yang sangat penting dan menentukan masa depan hutan
indonesia.