Kamis, 28 Juni 2012

Dasar Pengaturan Prinsip Persamaan Kedaulatan dan Hak Veto dalam Pengambilan Keputusan di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa


Oleh : Setyo Widagdo
Direview oleh :: Gunardi Lumbantoruan

Latar Belakang Masalah
Perserikatan Bangsa-bangsa yang meletakkan kerangka konstitusionalnya melalui instrumen pokok berupa Piagam PBB dengan tekad seluruh anggotanya untuk menghindari terulangnya ancaman perang dunia, saat ini berkembang menjadi organisasi internasional terbesar di dunia. Sebagai organisasi internasional yang bersifat universal, PBB diharapkan mampu memelihara perdamaian dan keamanan internasional.
Piagam PBB meletakkan tujuan dan prinsip yang mulia dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional, meningkatkan hubungan bersahabat, dan mencapai kerjasama internasional di semua bidang, serta adanya kewajiban-kewajiban internasional semua negara untuk :
1.       Menghormati persamaan kedaulatan bagi semua negara,
2.    Tidak menggunakan ancaman atau kekerasan terhadap kemerdekaan, kedaulatan, dan keutuhan wilayah suatu negara,
3.       Tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu negara, dan
4.       Berusaha menyelesaikan pertikaian antar negara secara damai
Namun demikian selama 62 tahun PBB dinilai hanya mampu sebagai cap stempel saja, bahkan ada yang mengatakan PBB tidak berdaya, sehingga terjadi disfungsi PBB dan penyimpangan dari tujuan dan cita-cita semula, terutama dalam upaya penyelesaian persoalan-persoalan politik dan keamanan internasional, walaupun pada bidang-bidang lainnya PBB dinilai telah banyak membantu. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh dari negara-negara besar yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, terutama Amerika Serikat.
Dewan keamanan merupakan badan atau organ utama PBB yang dinilai paling kuat dan berpengaruh di antara badan atau organ-organ PBB yang lain, bahkan ada yang mengatakan bahwa DK PBB ini merupakan “roh”nya PBB. Hal ini karena adanya hak istimewa yang dimiliki oleh  5 anggota tetap DK PBB, yang disebut dengan hak veto, yaitu hak untuk membatalkan keputusan atau resolusi yang diajukan PBB atau DK PBB. Hak veto dimiliki oleh negara-negara anggota tetap DK PBB, yakni AS, Inggris, Rusia (dulu Unisovyet), Prancis, dan RRC yang merupakan warisan Perang Dunia II.
                Dalam perk.embangannya hak veto dinilai merupakan alat penghambat dalam upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, karena 5 (lima) negara anggota tetap DK PBB selalu menggunakan untuk mencapai kepentingan nasional negara masing-masing. dengan demikian hak veto dinilai sangat “politis” bahkan dianggap sangat mencerminkan “ketidakadilan” negara-negara besar terhadap negara-negara kecil. Setiap persoalan yang dibawa ke DK PBB selalu mengalami perdebatan dan bahkan konflik internal di DK PBB yang mengakibatkan proses penyelesaian persoalan inernasional menjadi terhambat dan berlarut-larut, karena jika ada satu negara saja menggunakan hak veto (tidak setuju atau menolak) maka resolusi atau keputusan yang diambil menjadi tidak dapat dilaksanakan.
                 Perdebatan tentang hak veto tersebut sesungguhnya telah berlangsung lama dan telah menyita waktu, tenaga dan pikiran dan belum selesai hingga saat ini. Perdebatan itu selalu muncul di antara anggota PBB dan masyarakat internasional pada umumnya, yaitu setiap kali terjadi pemungutan suara di DK PBB, karena disinilah keadilan dan persamaan hak selalu dipertanyakan. Padahal dalam pasal 2 butir (1) Piagam PBB telah jelas disebutkan bahwa PBB berdasarkan asas persamaan kedaulatan semua anggotanya.

Perumusan Masalah
                Tulisan ini bermaksud mengupas dan membahas apakah yang menjadi landasan digunakannya prinsip/asas persamaan kedaulatan dalam pengambilan keputusan di DK PBB dan apakah yang menjadi alasan pembenar secara yuridis bahwa hak veto dapat digunakan, mengingat hak ini bertentangan dengan prinsip persamaan kedaulatan?

Kata Kunci
1.       Kedaulatan : C.F. Strong dalam bukunya Modern Political Constitution menyatakan bahwa kedaulatan/sovereignity adalah kekuasaan untuk membentuk hukum serta kekuasaan untuk memaksakan pelaksanaannya
2.       Hak veto : adalah hak untuk menolak atau membatalkan suatu keputusan yang memiliki efek menghambat atau meniadakan keputusan mayoritas
3.       DK PBB : Dewan Keamanan PBB adalah badan terkuat di PBB yang bertugas untuk menjaga perdamaian dan keamanan antar negara
4.       Supranasional : sifat kegiatan atau organisasi denagn sasaran yg melebihi jangkauan kepentingan yang dibatasi oleh batas politis dan geografis
5.       Asas pacta sunt servanda : asas yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat  harus ditaati oleh pihak-pihak yang mengadakannya
6.       Asas bonafides : asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang dilakukan harus didasari oleh itikad baik dari kedua belah pihak agar dalam perjanjian tersebut tidak ada yang merasa dirugikan
7.       Asas abus de droit : asas yang menyatakan bahwa penggunaan hak tidak boleh merugikan orang lain atau menggunakan hak dengan tujuan tidak baik
8.       Previleges : adalah hak istimewa yang diberikan kepada subjek tertentu
9.       Jus Cogens : Suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan sebagai suatu norma yang tidak boleh dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yang baru dan memiliki sifat yang sama

Sejarah Perkembangan Hak Veto
                Hak Veto yang dimiliki lima negara-negara besar merupakan imbalan dari tanggung jawab mereka terhadap perdamaian dan keamanan internasional (primary responsibilities). Pada pembicaraaan dalam perumusan Piagam PBB, baik di Dumbarton Oaks maupun di Yalta, dan di San Fransisco dibahas pula mengenai pemberian previlages berupa hak veto dan keanggotaan tetap di DK PBB kepada negara yang dianggap sangat bertanggung jawab pada penyelesaian Perang Dunia II.
                Pada pembicaraan di Dumbarton Oaks, AS mengkehendaki supaya ada aturan yang membatasi penggunaan hak veto, yakni soal tata tertib dan tidak diperkenankannya pihak yang bersengketa untuk mengggunakan hak vetonya, tetapi usulan itu ditolak oleh Uni Sovyet. Namun pada pembicaraan di Yalta akhirnya Rusia menyetujui usulan AS agar anggota tetap DK harus abstain bila ada pemungutan suara yang harus diambil tentang suatu sengketa di mana mereka adalah salah satu pihak dalam sengketa.
                Pasal 27 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap anggota DK PBB mempunyai satu suara. Dalam pemungutan suara pada DK PBB untuk masalah non prosedural ditetapkan bahwa harus diputuskan oleh minimal 9 suara, termasuk suara bulat dari lima anggota tetap DK PBB. Sedangkan untuk masalah prosedural ditetapkan bahwa keputusan akan diambil jika minimal 9 suara anggota DK PBB setuju. Pada prakteknya penggunaan hak veto oleh kelima negara menempatkan kelima negara anggota  tetap DK PBB menempatkan kelima negara tersebut memiliki kedudukan dan/atau kedaulatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anggota PBB lainnya. Namun justru hal tersebut bertentangan dengan asas persamaan kedaulatan (principle of the sovereign equality).
                Pada saat ini berkembang argumentasi bahwa hak veto merupakan warisan dari Perang Dunia II yang tidak relevan lagi untuk diterapkan pada era globalisasi dan ketika peta politik internasional sudah berubah. Pasal 108 Piagam PBB menyebutkan bahwa perubahan dapat berlaku bagi seluruh anggota PBB jika hal itu diterima oleh suara dua pertiga dari anggota Majelis Umum dan diratifikasi sesuai dengan proses-proses perundang-undangan dari dua pertiga anggota-anggota PBB termasuk semua anggota tetap DK PBB. Amandemen terhadap Piagam PBB sebenarnya sudah pernah dilakukan, namun amandemen tersebut hanya mengubah tentang jumlah anggota tidak tetap DK PBB, tidak menyentuh mengenai hak veto.

 Pembahasan
Hasil analisis penulisan ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1.        Prinsip Persamaan Kedaulatan
Pasal 2 butir (1) Piagam PBB memuat asas yang menyatakan bahwa PBB berdasarkan asas persamaan kedaulatan semua negara anggotanya. Asas persaman kedaulatan tersebut termasuk asas hukum umum, seperti disebutkan dalam pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional bahwa asas-asas hukum umum merupakan sumber hukum internasional yang ketiga. Yang termasuk ke dalam asas-asas hukum antara lain, asas pacta sunt servanda, asas bonafides, asas abus de droit, asas adimpleti non est adiplendum, asas kelangsungan negara, asas penghormatan kemerdekaan negara, asas non intervensi, asas persamaan kedaulatan negara. Jika dihubungkan dengan persoalan hak veto yang dimiliki oleh 5 negara anggota tetap DK PBB, maka kepemilikan hak veto tersebut patut dipertanyakan.

2.        Prinsip-prinsip dalam Pengambilan Keputusan di DK PBB
Sistem dasar mengenai pemungutan suara tercermin dalam pasal-pasal 18, 19, 20, dan 27 Piagam PBB, dua sistem di antaranya telah digunakan secara umum. Pengambilan keputusan melalui pemungutan suara di DK PBB terhadap semua masalah kecuali yang bersifat prosedural memerlukan dukungan suara bulat dari kelima negara anggota tetap DK PBB sebagai syarat utama sebagaimana tersirat dalam pasal 27 ayat (3) Piagam PBB. Sedangkan badan-badan PBB lainnya mengambil keputusan, baik melalui mayoritas sederhana maupun mayoritas mutlak.
Terhadap masalah non prosedural, pengambilan keputusan yang dianut DK PBB adalah berdasarkan pasal 27 ayat (3) Piagam PBB. Dalam pasal tersebut diatur bahwa dari 15 anggota DK PBB diperlukan 9 suara afirmatif, termasuk termasuk suara dari anggota tetap DK PBB, ini yang sering disebut sebagai hak veto anggota tetap DK PBB. Sebab jika satu saja anggota tetap tidak menyetujui, maka pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan.

3.        Pengertian Hak Veto
Hak veto yang dimiliki oleh 5 negara anggota tetap DK PBB, yakni AS, Inggris, Perancis, Cina, dan Rusia merupakan hak istimewa untuk menolak atau membatalkan suatu keputusan DK PBB. Istilah veto sebenarnya tidak ditulis secara ekspiit dalam Piagam PBB, melainkan ditafsirkan secara implisit dai pasal 27 ayat (3) Piagam PBB.
Keberadaan hak veto ini sangat erat kaitannya dengan kewenagan dari DK PBB yang sangat luas, yakni :
a)        Kewenangan untuk memilih Ketua Majelis Umum yang mana Majelis Umum ini memiliki arti yang sangat penting dalam kelangsungan hidup PBB
b)        Kewenangan merekomendasikan suatu negara untuk masuk sebagai anggota baru PBB
c)        Kewenangan merekomendasikan suatu negara agar keluar dari keanggotaan PBB
d)        Kewenangan untuk mengamandemen Piagam PBB
e)        Kewenangan untuk memilih para hakim yang akan duduk dalam Mahkamah Internasional

4.        Dasar Pengaturan Prinsip/Asas Persamaan Kedaulatan dalam Pengambilan Keputusan di DK PBB
Sifat kelembagaan politik PBB yang berdasarkan the principle of sovereign equality jelas menyatakan bahwa suatu negara anggota tidak dapat dipaksa ataupun didesak untuk menyetujui atau menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan kedaulatan dan kepentingan nasional negara tersebut.
Dengan demikian sesungguhnya prinsip persamaan kedaulatan dapat dikatakan sebagai suatu norma dasar hukum internasonal umum atau jus cogens. Asas tersebut sejajar dengan asas non agression, asas non discrimination, asas self determination dan sebagainya, yang semuanya itu merupakan jus cogens. Prinsip kedaulatan merupakan suatu hak yang tidak dapat dicabut, karena merupakan ciri hakiki yang harus dipunyai oleh setiap negara apabila negara itu berkeinginan “exist” dalam pergaulatan masyarakat internasional.

5.        Pembatasan Kekuasaan DK PBB
Prinsip persamaan kedaulatan yang tertuang dalam pasal 2 butir (1) Piagam PBB mencerminkan bahwa PBB bukanlah organisasi supra nasional dan bukanlah suatu badan yang berdaulat seperti negara dalam sistem hukum internasional yang dapat bertindak apa saja asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum secara umum atau kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian.
DK PBB sebagai badan dari PBB yang memiliki kekuasaan yang  berlebihan (ultra vires), tidak berarti kekuasaanya tidak terbatas., melainkan ada pembatasan-pembatasan secara hukum. DK PBB tidak dapat bertindak di luar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam pasal 24 ayat (2) dan pasal 1 ayat (1) Piagam PBB. Sesuai dengan pasal 24 ayat (2) semua tindakan DK PBB yang dilakukan termasuk tindakan dalam rangka pengenaan sanksi, baik sanksi ekonomi maupun sanksi militer haruslah tetap didasarkan atas prinsi-prinsip/asas-asas dan tujuan PBB, yaitu tetap menghormati persamaan kedaulatan, hak negara untuk mempertahankan kemerdekaan politik dan keutuhan wilayah suatu negara. Tindakan DK PBB haruslah didasarkan pada prinsip keadilan dan hukum internasional tanpa merugikan kepentingan nasional suatu negara.

6.        Kekuasaan DK PBB dalam Praktek dan Gagasan melakukan Reformasi
DK PBB yang seharusnya memiliki kekuatan yang terbatas, namun pada prakteknya bertindak seolah dengan kewenagan tidak terbatas.  DK PBB dainggap tidak memiliki prosedur yang jelas ketika bertindak dalam hal yudisial atau kuasi yudisial. Hal ini disebabkan pengaruh Amerika Serikat yang sangat kuat di PBB, tepatnya di DK PBB. Hal ini dapat dibuktikan dengan seringnya AS dan negara anggota tetap DK PBB melakukan veto terhadap keputusan-keputusan yang merugikan kepentingan mereka.
Oleh karena itu di tahun 2005 muncul isu dan gagasan tentang perlunya melakukan reformasi terhadap PBB, utamanya DK PBB. Aspek yang menjadi sorotan utama dalam reformasi DK PBB adalah masalah keanggotaan tetap DK. Seiring dengan dinamika percaturan politik dan ekonomi dunia, kian dirasakan bahwa kondisi ini tidak lagi dapat memenuhi aspirasi masyarakat internasional. Negara-negara seperti Jepang dan Jerman telah bangkit menjadi negara kekuatan ekonomi dunia yang tidak dapat lagi diabaikan suaranya, serta munculnya negara-negara seperti India, Brazil, dan Nigeria sebagai kekuatan baru di kalangan negara berkembang yang kebanyakan menyerukan tentang perlunya keseimbangan perwakilan secara geofrafis. Namun demikian gagasan tersebut mengalami kegagalan yang disebabkan oleh :
1.       AS sebagai negara adidaya tunggal dan merasa membiayai 25% operasional lembaga PBB tidak memberikan persetujuan terhadap reformasi struktural di DK PBB.
2.       China tidak mau berbagi kekuasaan dengan Jepang, karena jika Jepang menjadi anggota tetap DK PBB maka kekuatan ekonomi dan teknologinya dapat membuat power yang dimiliki China akan berkurang, baik di Asia maupun di Dunia.
3.       Negara-negara Afrika yang baru merdeka di abad 20 tidak mempunyai power yang cukup untuk berhadapan dengan negara-negara barat.
4.       Negara-negara eropa seperti Prancis dan Inggris merasa ketakutan jika Jerman menjadi anggota tetap DK PBB, karena masih dihantui oleh sejarah pada saat Jerman menguasai eropa dengan Nazinya.
5.       Islam sebagai kekuatan alternatif yang “menentang” barat tidak bersatu, bahkan selalu mengedepankan kepentingan nasionalnya masing-masing sehingga posisi tawarnya rendah.

7.        Penggunaan Veto dalam Praktik
Kekuatan veto yang semula dimaksudkan sebagai alat agar DK PBB mempunyai kekuatan yang manjur, dalam prakteknya telah menyimpang dari maksud semula. Dalam praktek masalah veto ini telah diperlunak. Penafsiran pasal 27 ayat (3) Piagam PBB secara gramatika menyebutkan bahwa abstain dianggap veto, namun dengan mempertimbangkan pasal 28 ayat (1) bahwa anggota tetap DK PBB memiliki kewajiban untuk menghadiri sidang Dewan Keamanan, maka DK PBB dapat mengambil keputusan walaupun salah satu anggota tetap tidak hadir.
Pada prakteknya saat ini, anggota tetap DK PBB yang menjadi salah satu pihak yang terlibat dalam sengketa memiliki kewajiban untuk abstain. Namun hal ini sering diabaikan, salah satu contoh adalah Resolusi DK PBB dalam kasus Lockerbie. Bahwa dalam kasus tersebut Inggris, AS, dan Perancis mengambil bagian dalam pemungutan suara walaupun sebenarnya mereka terlibat dalam sengketa tersebut.
Sampai saat ini tercatat 261 kali praktek penggunaan hak veto. Sebagian besar diantaranya (123 kali) digunakan oleh Rusia sampai pertengahan tahun 1990, 59 diantaranya digunakan untuk mencegat anggota baru dan 49 lainnya digunakan untuk mencegat pencalonan Sekretaris Jendral. Sementara dalam 5 tahun terakhir AS tercatat sebagai negara yang paling sering menggunakan hak veto, yakni 10 kali.

8.        Alasan Pembenar Secara Yuridis Digunakannya Hak Veto
Dalam Piagam PBB, tidak ada ketentuan yang secara eksplisit menyatakan bahwa kelima negara anggota tetap DK PBB memiliki hak veto, namun secara eksplisit, hak veto tersebut muncul dari penafsiran pasal 27 ayat (3) Piagam PBB, yang menyatakan bahwa keputusan-keputusan DK mengenai hal-hal lainnya (non prosedural) akan ditetapkan dengan suara setuju dari sembilan anggota termasuk suara bulat dari anggota-anggota tetap, dengan ketentuan bahwa dalam keputusan-keputusan di bawah Bab VI dan di bawah ayat (3) pasal 52 pihak yang berselisih tidak diperkenankan memberikan suaranya.
Yang dimaksud dengan “suara bulat anggota tetap” tersebut di ataslah yang ditafsirkan sebagai “hak veto”. Dalam Piagam PBB sendiri tidak terdapat perumusan mengenai masalah prosedural dan masalah non prosedural. Namun dalam peretemuan di San Fransisco dirumuskan daftar yang termasuk masalah prosedural dan non prosedural. Yang termasuk maslaha prosedural adalah keputusan yang didasarkan pada persoalan tata tertib dan pertanyaan yang berhubungan dengan agenda penundaan rapat. Sedangkan yang termasuk masalah non prosedural adalah  rekomendasi untuk penyelesaian sengketa dan keputusan untuk tindakan dan kekerasan. Jika ada suaru keragu-raguan apakah suatu permaslahan termasuk masalah prosedural atau non prosedural, maka maslah tersebut menjadi masalah non prosedural.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara yuridis eksistensi hak veto telah melanggar prinsip hukum internasional umum , yakni persamaan kedaulatan. Dalam Piagam PBB juga tidak ada ketentuan secara eksplisit mengenai hak veto, melainkan hanya merupakan tafsiran secara implisit dari pasal 27 ayat (3). Oleh karena itu jelaslah bahwa sesungguhnya tidak ada alasan pembenar secara yuridis terhadap pengggunaan hak veto.

Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.       Bahwa dasar pengaturan prinsip atau asas persamaan kedaulatan secara tegas diatur dalam pasal 2 ayat (1) Piagam PBB dan ketentuan tersebut merupakan asas dari pelaksanaan fungsi PBB sebagai suatu organisasi internasional, termasuk menjadi landasan bagi pelaksanaan fungsi-fungsi organ-organ utamanya. Oleh karena itu prinsip atau asas ini harus menjadi landasan bagi pengambil keputusan dalam DK PBB.
2.       Tidak ada alasan pembenar secara yuridis tentang penggunaan hak veto oleh negara anggota tetap DK PBB, sebab dalam ketentuan Piagam PBB, hak veto tidak diatur secara eksplisit, namun hanya menafsirkan dari ketentuan pasal 27 ayat (3) Piagam PBB. Tetapi sebagai pengemban untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, DK PBB secara politis dibenarkan menggunakan pasal 27 ayat (3) Piagam PBB yang ditafsirkan sebagai hak veto.

Saran
Masyarakat internasional harus terus menerus mengupayakan dilakukannya reformasi terhadap PBB, terutama terhadap DK PBB untuk menata kembali kewenangan-kewenangan DK PBB yang selama ini dinilai menyimpang dari prinsip-prinsip hukum internasional.

Komentar
Secara keseluruhan, jurnal ini sudah cukup lengkap dan memenuhi standar penulisan. Antara rumusan masalah dengan pembahasan telah terkoneksi dengan baik, karena rumusan masalah yang disajikan memiliki hubungan yang jelas dengan pembahasan. Bahwa dalam pembahasan telah dijelaskan mengenai landasan digunakannya prinsip persamaan kedaulatan dalam pengambilan keputusan di DK PBB yang ada pada pasal 2 ayat (1) Piagam PBB dan juga telah dipaparkan dengan jelas bahwa tidak ada alasan pembenar secara yuridis digunakannya hak veto. Abstract dari penulisan ini cukup singkat dan telah menunjukkan tujuan penulisan, serta telah dapat menggambarkan secara jelas isi dari penulisan ini. Tata bahasa yang dipergunakakan dalam penulisan jurnal ini cukup mudah dipahami sehingga memudahkan pembaca untuk mengerti isi dalam jurnal ini.
Disamping kelebihan-kelebihan yang tersebut di atas, ada beberapa hal yang menjadi critical review terhadap tulisan ini, antara lain adalah bahwa dalam penulisan jurnal ini penulis menilai penggunaan hak veto oleh negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, utamanya Amerika Serikat secara subjektif. Bahwa penulis cenderung mengekspos secara tajam penyalahgunaan hak veto oleh Amerika Serikat, namun kurang tajam untuk ke-empat negara lain, bahkan terkesan biasa saja. Penulis juga tidak menyajikan data penggunaan hak veto secara lengkap, melainkan hanya menyajikan data penggunaan hak veto oleh Amerika Serikat dan Rusia. Hal ini dinilai tidak adil karena terlalu menyudutkan kedua negara. Selain itu penulis juga sering mengaitkan penyalahgunaan hak veto dengan kepentingan Amerika Serikat yang menurut saya hal itu terlalu subjektif. Bahwa seharusnya penulis menghindari penilaian secara subjektif dan harus lebih mengedepankan penilaian secara objektif terhadap penggunaan hak veto oleh ke-lima negara anggota tetap DK PBB, karena disisi lain penulis menjelaskan bahwa penggunaan hak veto itu sangat politis, artinya bukan hanya Amerika Serikat saja yang menggunakan hak veto tersebut demi kepentingannya, melainkan juga termasuk China, Rusia, Inggris, dan Perancis.
Dalam tulisan ini banyak dijumpai kata yang pengejaan yang salah. Sebagai contoh adalah penulisan kata “Dalam” pada judul penulisan ini seharusnya ditulis “dalam” karena untuk kata depan pada penulisan judul harusnya huruf awalnya tidak ditulis dengan huruf kapital. Selain itu kata “diatas” pada hal 80 dan masih banyak lagi pada bagian lainnya juga seharusnya ditulis “di atas”, karena di merupakan kata preposition. Penulis juga tidak konsisten dalam menulis “pasal 2 butir (1)” seperti pada hal 72, karena pada hal 76-82 justru penulis menyebutkan “pasal 2 ayat (1)” yang seharusnya penulis menuliskannya “pasal 2 ayat (1)” seperti pada hal 76-82.
Saran yang diberikan penulis dalam penulisan ini sudah cukup persuasif, namun seharusnya lebih mendetail agar saran yang diberikan tidak bersifat formalitas yang bisa membuat pembaca kehilangan semangat untuk berbuat. Dalam saran tersebut disebutkan bahwa masyarakat internasional harus terus menerus mengupayakan dilakukannya reformasi terhadap PBB,  namun penulis tidak memberikan opsi-opsi atau langkah-langkah yang dapat dipilih dan dilaksanakan dalam rangka pengupayaan reformasi PBB tersebut.
Sebagai penutup, meskipun ditemukan berbagai kelebihan dan kekurangan dalam penulisan Jurnal ini, namun penulisan jurnal ini telah memberikan kontribusi positif terhadap dunia pendidikan, khususnya pada kemajuan kerangka berpikir dalam perspektif Hukum Internasional.

0 komentar:

Posting Komentar