Oleh : Setyo Widagdo
Direview oleh :: Gunardi Lumbantoruan
Latar Belakang Masalah
Perserikatan Bangsa-bangsa yang meletakkan kerangka konstitusionalnya
melalui instrumen pokok berupa Piagam PBB dengan tekad seluruh anggotanya untuk
menghindari terulangnya ancaman perang dunia, saat ini berkembang menjadi organisasi
internasional terbesar di dunia. Sebagai organisasi internasional yang bersifat
universal, PBB diharapkan mampu memelihara perdamaian dan keamanan
internasional.
Piagam PBB meletakkan tujuan dan prinsip yang mulia dalam rangka memelihara
perdamaian dan keamanan internasional, meningkatkan hubungan bersahabat, dan
mencapai kerjasama internasional di semua bidang, serta adanya
kewajiban-kewajiban internasional semua negara untuk :
1.
Menghormati
persamaan kedaulatan bagi semua negara,
2. Tidak
menggunakan ancaman atau kekerasan terhadap kemerdekaan, kedaulatan, dan
keutuhan wilayah suatu negara,
3.
Tidak
mencampuri urusan dalam negeri suatu negara, dan
4.
Berusaha
menyelesaikan pertikaian antar negara secara damai
Namun demikian selama 62 tahun PBB dinilai hanya mampu
sebagai cap stempel saja, bahkan ada yang mengatakan PBB tidak berdaya,
sehingga terjadi disfungsi PBB dan penyimpangan dari tujuan dan cita-cita
semula, terutama dalam upaya penyelesaian persoalan-persoalan politik dan
keamanan internasional, walaupun pada bidang-bidang lainnya PBB dinilai telah
banyak membantu. Hal tersebut disebabkan karena pengaruh dari negara-negara
besar yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, terutama Amerika Serikat.
Dewan keamanan merupakan badan atau organ utama PBB yang dinilai paling
kuat dan berpengaruh di antara badan atau organ-organ PBB yang lain, bahkan ada
yang mengatakan bahwa DK PBB ini merupakan “roh”nya PBB. Hal ini karena adanya
hak istimewa yang dimiliki oleh 5
anggota tetap DK PBB, yang disebut dengan hak veto, yaitu hak untuk membatalkan
keputusan atau resolusi yang diajukan PBB atau DK PBB. Hak veto dimiliki oleh
negara-negara anggota tetap DK PBB, yakni AS, Inggris, Rusia (dulu Unisovyet), Prancis,
dan RRC yang merupakan warisan Perang Dunia II.
Dalam perk.embangannya hak veto
dinilai merupakan alat penghambat dalam upaya pemeliharaan perdamaian dan
keamanan internasional, karena 5 (lima) negara anggota tetap DK PBB selalu
menggunakan untuk mencapai kepentingan nasional negara masing-masing. dengan demikian hak veto dinilai sangat “politis”
bahkan dianggap sangat mencerminkan “ketidakadilan” negara-negara besar
terhadap negara-negara kecil. Setiap persoalan yang dibawa ke DK PBB selalu
mengalami perdebatan dan bahkan konflik internal di DK PBB yang mengakibatkan
proses penyelesaian persoalan inernasional menjadi terhambat dan
berlarut-larut, karena jika ada satu negara saja menggunakan hak veto (tidak
setuju atau menolak) maka resolusi atau keputusan yang diambil menjadi tidak
dapat dilaksanakan.
Perdebatan tentang hak veto tersebut
sesungguhnya telah berlangsung lama dan telah menyita waktu, tenaga dan pikiran
dan belum selesai hingga saat ini. Perdebatan itu selalu muncul di antara
anggota PBB dan masyarakat internasional pada umumnya, yaitu setiap kali
terjadi pemungutan suara di DK PBB, karena disinilah keadilan dan persamaan hak
selalu dipertanyakan. Padahal dalam pasal 2 butir (1) Piagam PBB telah jelas
disebutkan bahwa PBB berdasarkan asas persamaan kedaulatan semua anggotanya.
Perumusan Masalah
Tulisan
ini bermaksud mengupas dan membahas apakah yang menjadi landasan digunakannya
prinsip/asas persamaan kedaulatan dalam pengambilan keputusan di DK PBB dan
apakah yang menjadi alasan pembenar secara yuridis bahwa hak veto dapat
digunakan, mengingat hak ini bertentangan dengan prinsip persamaan kedaulatan?
Kata Kunci
1.
Kedaulatan : C.F. Strong dalam
bukunya Modern Political
Constitution menyatakan bahwa kedaulatan/sovereignity
adalah kekuasaan untuk membentuk hukum serta kekuasaan untuk memaksakan pelaksanaannya
2.
Hak veto : adalah hak untuk menolak atau
membatalkan suatu keputusan yang memiliki efek
menghambat atau meniadakan keputusan mayoritas
3.
DK PBB : Dewan
Keamanan PBB adalah badan terkuat di PBB yang bertugas untuk menjaga
perdamaian dan keamanan antar negara
4.
Supranasional : sifat
kegiatan atau organisasi denagn sasaran yg melebihi jangkauan kepentingan yang dibatasi oleh batas politis dan geografis
5.
Asas pacta sunt servanda : asas yang
menyatakan bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati oleh
pihak-pihak yang mengadakannya
6.
Asas bonafides : asas yang
menyatakan bahwa perjanjian yang dilakukan harus didasari oleh itikad baik dari
kedua belah pihak agar dalam perjanjian tersebut tidak ada yang merasa
dirugikan
7.
Asas abus de droit : asas yang menyatakan
bahwa penggunaan hak tidak boleh merugikan orang lain atau menggunakan hak
dengan tujuan tidak baik
8.
Previleges : adalah hak istimewa yang
diberikan kepada subjek tertentu
9.
Jus Cogens : Suatu norma yang diterima dan
diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan sebagai suatu norma
yang tidak boleh dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum
internasional umum yang baru dan memiliki sifat yang sama
Sejarah Perkembangan
Hak Veto
Hak
Veto yang dimiliki lima negara-negara besar merupakan imbalan dari tanggung
jawab mereka terhadap perdamaian dan keamanan internasional (primary responsibilities). Pada
pembicaraaan dalam perumusan Piagam PBB, baik di Dumbarton Oaks maupun di
Yalta, dan di San Fransisco dibahas pula mengenai pemberian previlages berupa hak veto dan
keanggotaan tetap di DK PBB kepada negara yang dianggap sangat bertanggung
jawab pada penyelesaian Perang Dunia II.
Pada
pembicaraan di Dumbarton Oaks, AS mengkehendaki supaya ada aturan yang
membatasi penggunaan hak veto, yakni soal tata tertib dan tidak
diperkenankannya pihak yang bersengketa untuk mengggunakan hak vetonya, tetapi
usulan itu ditolak oleh Uni Sovyet. Namun pada pembicaraan di Yalta akhirnya
Rusia menyetujui usulan AS agar anggota tetap DK harus abstain bila ada
pemungutan suara yang harus diambil tentang suatu sengketa di mana mereka
adalah salah satu pihak dalam sengketa.
Pasal
27 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap anggota DK PBB mempunyai satu suara. Dalam
pemungutan suara pada DK PBB untuk masalah non prosedural ditetapkan bahwa
harus diputuskan oleh minimal 9 suara, termasuk suara bulat dari lima anggota
tetap DK PBB. Sedangkan untuk masalah prosedural ditetapkan bahwa keputusan akan
diambil jika minimal 9 suara anggota DK PBB setuju. Pada prakteknya penggunaan
hak veto oleh kelima negara menempatkan kelima negara anggota tetap DK PBB menempatkan kelima negara
tersebut memiliki kedudukan dan/atau kedaulatan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan anggota PBB lainnya. Namun justru hal tersebut bertentangan dengan asas
persamaan kedaulatan (principle of the sovereign equality).
Pada
saat ini berkembang argumentasi bahwa hak veto merupakan warisan dari Perang
Dunia II yang tidak relevan lagi untuk diterapkan pada era globalisasi dan
ketika peta politik internasional sudah berubah. Pasal 108 Piagam PBB
menyebutkan bahwa perubahan dapat berlaku bagi seluruh anggota PBB jika hal itu
diterima oleh suara dua pertiga dari anggota Majelis Umum dan diratifikasi
sesuai dengan proses-proses perundang-undangan dari dua pertiga anggota-anggota
PBB termasuk semua anggota tetap DK PBB. Amandemen terhadap Piagam PBB
sebenarnya sudah pernah dilakukan, namun amandemen tersebut hanya mengubah
tentang jumlah anggota tidak tetap DK PBB, tidak menyentuh mengenai hak veto.
Pembahasan
Hasil
analisis penulisan ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Prinsip Persamaan Kedaulatan
Pasal 2 butir (1) Piagam PBB memuat asas yang menyatakan
bahwa PBB berdasarkan asas persamaan kedaulatan semua negara anggotanya. Asas
persaman kedaulatan tersebut termasuk asas hukum umum, seperti disebutkan dalam
pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional bahwa asas-asas hukum umum
merupakan sumber hukum internasional yang ketiga. Yang termasuk ke dalam
asas-asas hukum antara lain, asas pacta sunt servanda, asas bonafides, asas
abus de droit, asas adimpleti non est adiplendum, asas kelangsungan negara,
asas penghormatan kemerdekaan negara, asas non intervensi, asas persamaan
kedaulatan negara. Jika dihubungkan dengan persoalan hak veto yang dimiliki
oleh 5 negara anggota tetap DK PBB, maka kepemilikan hak veto tersebut patut
dipertanyakan.
2.
Prinsip-prinsip dalam Pengambilan Keputusan di DK PBB
Sistem dasar mengenai pemungutan suara tercermin dalam
pasal-pasal 18, 19, 20, dan 27 Piagam PBB, dua sistem di antaranya telah
digunakan secara umum. Pengambilan keputusan melalui pemungutan suara di DK PBB
terhadap semua masalah kecuali yang bersifat prosedural memerlukan dukungan
suara bulat dari kelima negara anggota tetap DK PBB sebagai syarat utama
sebagaimana tersirat dalam pasal 27 ayat (3) Piagam PBB. Sedangkan badan-badan
PBB lainnya mengambil keputusan, baik melalui mayoritas sederhana maupun
mayoritas mutlak.
Terhadap masalah non prosedural, pengambilan keputusan
yang dianut DK PBB adalah berdasarkan pasal 27 ayat (3) Piagam PBB. Dalam pasal
tersebut diatur bahwa dari 15 anggota DK PBB diperlukan 9 suara afirmatif,
termasuk termasuk suara dari anggota tetap DK PBB, ini yang sering disebut
sebagai hak veto anggota tetap DK PBB. Sebab jika satu saja anggota tetap tidak
menyetujui, maka pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan.
3.
Pengertian Hak Veto
Hak veto yang dimiliki oleh
5 negara anggota tetap DK PBB, yakni AS, Inggris, Perancis, Cina, dan Rusia
merupakan hak istimewa untuk menolak atau membatalkan suatu keputusan DK PBB.
Istilah veto sebenarnya tidak ditulis secara ekspiit dalam Piagam PBB, melainkan
ditafsirkan secara implisit dai pasal 27 ayat (3) Piagam PBB.
Keberadaan hak veto ini
sangat erat kaitannya dengan kewenagan dari DK PBB yang sangat luas, yakni :
a)
Kewenangan untuk memilih
Ketua Majelis Umum yang mana Majelis Umum ini memiliki arti yang sangat penting
dalam kelangsungan hidup PBB
b)
Kewenangan merekomendasikan
suatu negara untuk masuk sebagai anggota baru PBB
c)
Kewenangan merekomendasikan
suatu negara agar keluar dari keanggotaan PBB
d)
Kewenangan untuk
mengamandemen Piagam PBB
e)
Kewenangan untuk memilih
para hakim yang akan duduk dalam Mahkamah Internasional
4.
Dasar Pengaturan Prinsip/Asas Persamaan Kedaulatan dalam
Pengambilan Keputusan di DK PBB
Sifat kelembagaan politik PBB yang berdasarkan the principle of sovereign equality jelas
menyatakan bahwa suatu negara anggota tidak dapat dipaksa ataupun didesak untuk
menyetujui atau menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan kedaulatan dan
kepentingan nasional negara tersebut.
Dengan demikian sesungguhnya prinsip persamaan kedaulatan
dapat dikatakan sebagai suatu norma dasar hukum internasonal umum atau jus cogens. Asas tersebut sejajar dengan
asas non agression, asas non discrimination, asas self determination dan sebagainya, yang
semuanya itu merupakan jus cogens.
Prinsip kedaulatan merupakan suatu hak yang tidak dapat dicabut, karena
merupakan ciri hakiki yang harus dipunyai oleh setiap negara apabila negara itu
berkeinginan “exist” dalam pergaulatan masyarakat internasional.
5.
Pembatasan Kekuasaan DK PBB
Prinsip persamaan
kedaulatan yang tertuang dalam pasal 2 butir (1) Piagam PBB mencerminkan bahwa
PBB bukanlah organisasi supra nasional dan bukanlah suatu badan yang berdaulat
seperti negara dalam sistem hukum internasional yang dapat bertindak apa saja
asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum secara umum atau
kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian.
DK PBB sebagai badan dari
PBB yang memiliki kekuasaan yang
berlebihan (ultra vires),
tidak berarti kekuasaanya tidak terbatas., melainkan ada pembatasan-pembatasan
secara hukum. DK PBB tidak dapat bertindak di luar ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan dalam pasal 24 ayat (2) dan pasal 1 ayat (1) Piagam PBB.
Sesuai dengan pasal 24 ayat (2) semua tindakan DK PBB yang dilakukan termasuk
tindakan dalam rangka pengenaan sanksi, baik sanksi ekonomi maupun sanksi
militer haruslah tetap didasarkan atas prinsi-prinsip/asas-asas dan tujuan PBB,
yaitu tetap menghormati persamaan kedaulatan, hak negara untuk mempertahankan
kemerdekaan politik dan keutuhan wilayah suatu negara. Tindakan DK PBB haruslah
didasarkan pada prinsip keadilan dan hukum internasional tanpa merugikan
kepentingan nasional suatu negara.
6.
Kekuasaan DK PBB dalam Praktek dan Gagasan melakukan
Reformasi
DK PBB yang seharusnya memiliki kekuatan yang terbatas,
namun pada prakteknya bertindak seolah dengan kewenagan tidak terbatas. DK PBB dainggap tidak memiliki prosedur yang
jelas ketika bertindak dalam hal yudisial atau kuasi yudisial. Hal ini
disebabkan pengaruh Amerika Serikat yang sangat kuat di PBB, tepatnya di DK
PBB. Hal ini dapat dibuktikan dengan seringnya AS dan negara anggota tetap DK
PBB melakukan veto terhadap keputusan-keputusan yang merugikan kepentingan
mereka.
Oleh karena itu di tahun 2005 muncul isu dan gagasan
tentang perlunya melakukan reformasi terhadap PBB, utamanya DK PBB. Aspek yang
menjadi sorotan utama dalam reformasi DK PBB adalah masalah keanggotaan tetap
DK. Seiring dengan dinamika percaturan politik dan ekonomi dunia, kian
dirasakan bahwa kondisi ini tidak lagi dapat memenuhi aspirasi masyarakat
internasional. Negara-negara seperti Jepang dan Jerman telah bangkit menjadi
negara kekuatan ekonomi dunia yang tidak dapat lagi diabaikan suaranya, serta
munculnya negara-negara seperti India, Brazil, dan Nigeria sebagai kekuatan
baru di kalangan negara berkembang yang kebanyakan menyerukan tentang perlunya
keseimbangan perwakilan secara geofrafis. Namun demikian gagasan tersebut
mengalami kegagalan yang disebabkan oleh :
1.
AS sebagai negara adidaya
tunggal dan merasa membiayai 25% operasional lembaga PBB tidak memberikan
persetujuan terhadap reformasi struktural di DK PBB.
2.
China tidak mau berbagi
kekuasaan dengan Jepang, karena jika Jepang menjadi anggota tetap DK PBB maka
kekuatan ekonomi dan teknologinya dapat membuat power yang dimiliki China akan
berkurang, baik di Asia maupun di Dunia.
3.
Negara-negara Afrika yang
baru merdeka di abad 20 tidak mempunyai power yang cukup untuk berhadapan
dengan negara-negara barat.
4.
Negara-negara eropa seperti
Prancis dan Inggris merasa ketakutan jika Jerman menjadi anggota tetap DK PBB,
karena masih dihantui oleh sejarah pada saat Jerman menguasai eropa dengan
Nazinya.
5.
Islam sebagai kekuatan
alternatif yang “menentang” barat tidak bersatu, bahkan selalu mengedepankan
kepentingan nasionalnya masing-masing sehingga posisi tawarnya rendah.
7.
Penggunaan Veto dalam Praktik
Kekuatan veto yang semula
dimaksudkan sebagai alat agar DK PBB mempunyai kekuatan yang manjur, dalam
prakteknya telah menyimpang dari maksud semula. Dalam praktek masalah veto ini
telah diperlunak. Penafsiran pasal 27 ayat (3) Piagam PBB secara gramatika
menyebutkan bahwa abstain dianggap veto, namun dengan mempertimbangkan pasal 28
ayat (1) bahwa anggota tetap DK PBB memiliki kewajiban untuk menghadiri sidang
Dewan Keamanan, maka DK PBB dapat mengambil keputusan walaupun salah satu
anggota tetap tidak hadir.
Pada prakteknya saat ini,
anggota tetap DK PBB yang menjadi salah satu pihak yang terlibat dalam sengketa
memiliki kewajiban untuk abstain. Namun hal ini sering diabaikan, salah satu
contoh adalah Resolusi DK PBB dalam kasus Lockerbie. Bahwa dalam kasus tersebut
Inggris, AS, dan Perancis mengambil bagian dalam pemungutan suara walaupun
sebenarnya mereka terlibat dalam sengketa tersebut.
Sampai saat ini tercatat
261 kali praktek penggunaan hak veto. Sebagian besar diantaranya (123 kali)
digunakan oleh Rusia sampai pertengahan tahun 1990, 59 diantaranya digunakan
untuk mencegat anggota baru dan 49 lainnya digunakan untuk mencegat pencalonan
Sekretaris Jendral. Sementara dalam 5 tahun terakhir AS tercatat sebagai negara
yang paling sering menggunakan hak veto, yakni 10 kali.
8.
Alasan Pembenar Secara Yuridis Digunakannya Hak Veto
Dalam Piagam PBB, tidak ada
ketentuan yang secara eksplisit menyatakan bahwa kelima negara anggota tetap DK
PBB memiliki hak veto, namun secara eksplisit, hak veto tersebut muncul dari
penafsiran pasal 27 ayat (3) Piagam PBB, yang menyatakan bahwa
keputusan-keputusan DK mengenai hal-hal lainnya (non prosedural) akan
ditetapkan dengan suara setuju dari sembilan anggota termasuk suara bulat dari
anggota-anggota tetap, dengan ketentuan bahwa dalam keputusan-keputusan di
bawah Bab VI dan di bawah ayat (3) pasal 52 pihak yang berselisih tidak diperkenankan
memberikan suaranya.
Yang dimaksud dengan “suara
bulat anggota tetap” tersebut di ataslah yang ditafsirkan sebagai “hak veto”.
Dalam Piagam PBB sendiri tidak terdapat perumusan mengenai masalah prosedural
dan masalah non prosedural. Namun dalam peretemuan di San Fransisco dirumuskan
daftar yang termasuk masalah prosedural dan non prosedural. Yang termasuk
maslaha prosedural adalah keputusan yang didasarkan pada persoalan tata tertib
dan pertanyaan yang berhubungan dengan agenda penundaan rapat. Sedangkan yang
termasuk masalah non prosedural adalah
rekomendasi untuk penyelesaian sengketa dan keputusan untuk tindakan dan
kekerasan. Jika ada suaru keragu-raguan apakah suatu permaslahan termasuk
masalah prosedural atau non prosedural, maka maslah tersebut menjadi masalah
non prosedural.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa secara yuridis eksistensi hak veto telah melanggar prinsip
hukum internasional umum , yakni persamaan kedaulatan. Dalam Piagam PBB juga
tidak ada ketentuan secara eksplisit mengenai hak veto, melainkan hanya
merupakan tafsiran secara implisit dari pasal 27 ayat (3). Oleh karena itu
jelaslah bahwa sesungguhnya tidak ada alasan pembenar secara yuridis terhadap
pengggunaan hak veto.
Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1.
Bahwa dasar pengaturan
prinsip atau asas persamaan kedaulatan secara tegas diatur dalam pasal 2 ayat
(1) Piagam PBB dan ketentuan tersebut merupakan asas dari pelaksanaan fungsi
PBB sebagai suatu organisasi internasional, termasuk menjadi landasan bagi
pelaksanaan fungsi-fungsi organ-organ utamanya. Oleh karena itu prinsip atau
asas ini harus menjadi landasan bagi pengambil keputusan dalam DK PBB.
2.
Tidak ada alasan pembenar
secara yuridis tentang penggunaan hak veto oleh negara anggota tetap DK PBB,
sebab dalam ketentuan Piagam PBB, hak veto tidak diatur secara eksplisit, namun
hanya menafsirkan dari ketentuan pasal 27 ayat (3) Piagam PBB. Tetapi sebagai
pengemban untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, DK PBB secara
politis dibenarkan menggunakan pasal 27 ayat (3) Piagam PBB yang ditafsirkan
sebagai hak veto.
Saran
Masyarakat internasional
harus terus menerus mengupayakan dilakukannya reformasi terhadap PBB, terutama
terhadap DK PBB untuk menata kembali kewenangan-kewenangan DK PBB yang selama
ini dinilai menyimpang dari prinsip-prinsip hukum internasional.
Komentar
Secara
keseluruhan, jurnal ini sudah cukup lengkap dan memenuhi standar penulisan. Antara rumusan masalah
dengan pembahasan telah terkoneksi dengan baik, karena rumusan masalah yang
disajikan memiliki hubungan yang jelas dengan pembahasan. Bahwa dalam
pembahasan telah dijelaskan mengenai landasan digunakannya prinsip persamaan
kedaulatan dalam pengambilan keputusan di DK PBB yang ada pada pasal 2 ayat (1)
Piagam PBB dan juga telah dipaparkan dengan jelas bahwa tidak ada alasan
pembenar secara yuridis digunakannya hak veto. Abstract dari penulisan ini
cukup singkat dan telah menunjukkan tujuan penulisan, serta telah dapat menggambarkan
secara jelas isi dari penulisan ini. Tata bahasa yang dipergunakakan dalam
penulisan jurnal ini cukup mudah dipahami sehingga memudahkan pembaca untuk
mengerti isi dalam jurnal ini.
Disamping kelebihan-kelebihan yang tersebut di atas, ada beberapa hal yang menjadi
critical review terhadap tulisan ini,
antara lain adalah bahwa dalam penulisan jurnal ini penulis menilai penggunaan hak
veto oleh negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, utamanya Amerika
Serikat secara subjektif. Bahwa penulis cenderung mengekspos secara tajam penyalahgunaan
hak veto oleh Amerika Serikat, namun kurang tajam untuk ke-empat negara lain,
bahkan terkesan biasa saja. Penulis juga tidak menyajikan data penggunaan hak
veto secara lengkap, melainkan hanya menyajikan data penggunaan hak veto oleh
Amerika Serikat dan Rusia. Hal ini dinilai tidak adil karena terlalu
menyudutkan kedua negara. Selain itu penulis juga sering mengaitkan
penyalahgunaan hak veto dengan kepentingan Amerika Serikat yang menurut saya
hal itu terlalu subjektif. Bahwa seharusnya penulis menghindari penilaian
secara subjektif dan harus lebih mengedepankan penilaian secara objektif
terhadap penggunaan hak veto oleh ke-lima negara anggota tetap DK PBB, karena
disisi lain penulis menjelaskan bahwa penggunaan hak veto itu sangat politis,
artinya bukan hanya Amerika Serikat saja yang menggunakan hak veto tersebut
demi kepentingannya, melainkan juga termasuk China, Rusia, Inggris, dan
Perancis.
Dalam tulisan ini banyak dijumpai kata yang pengejaan yang salah. Sebagai
contoh adalah penulisan kata “Dalam” pada judul penulisan ini seharusnya
ditulis “dalam” karena untuk kata depan pada penulisan judul harusnya huruf
awalnya tidak ditulis dengan huruf kapital. Selain itu kata “diatas” pada hal
80 dan masih banyak lagi pada bagian lainnya juga seharusnya ditulis “di atas”,
karena di merupakan kata preposition. Penulis juga tidak konsisten dalam
menulis “pasal 2 butir (1)” seperti pada hal 72, karena pada hal 76-82 justru
penulis menyebutkan “pasal 2 ayat (1)” yang seharusnya penulis menuliskannya “pasal
2 ayat (1)” seperti pada hal 76-82.
Saran yang diberikan penulis dalam penulisan ini sudah cukup persuasif,
namun seharusnya lebih mendetail agar saran yang diberikan tidak bersifat
formalitas yang bisa membuat pembaca kehilangan semangat untuk berbuat. Dalam
saran tersebut disebutkan bahwa masyarakat internasional harus terus menerus
mengupayakan dilakukannya reformasi terhadap PBB, namun penulis tidak memberikan opsi-opsi atau
langkah-langkah yang dapat dipilih dan dilaksanakan dalam rangka pengupayaan
reformasi PBB tersebut.
Sebagai penutup, meskipun ditemukan berbagai kelebihan
dan kekurangan dalam penulisan Jurnal ini, namun penulisan jurnal ini telah
memberikan kontribusi positif terhadap dunia pendidikan, khususnya pada
kemajuan kerangka berpikir dalam perspektif Hukum Internasional.
0 komentar:
Posting Komentar