Oleh : Gunardi Lumbantoruan
Kebijakan pasar kerja
fleksibel merupakan langkah pemerintah dalam memanjakan para pengusaha dengan
menjamin politik upah murah dan aturan yang longgar dalam dunia perburuhan demi
memastikan keberlangsungan sektor ekonomi makro namun memarginalkan hak-hak buruh.
Representasi dari kebijakan ini dapat dilihat dalam pelaksanaan Undang-undang
No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang tidak konsisten. Dalam
pelaksanaan Undang-undang tersebut dapat kita lihat beberapa kebijakan
pemerintah yang selama ini disebut-sebut sebagai kebijakan pasar kerja
fleksibel. Kebijakan tersebut adalah ketentuan mengenai upah minimum, ketentuan
mengenai PHK, dan ketentuan mengenai hubungan kerja.
Pengaturan mengenai upah
minimum dijelaskan pada pasal 88 sampai pasal 94 Undang-undang No 13 tahun 2003.
Dalam pasal 88 ayat 3 huruf a disebutkan bahwa upah minimum merupakan salah
satu kebijakan pengupahan. Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan
kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi.
Upah minimum ditetapkan berdasarkan
wilayah provinsi atau kabupaten/kota serta berdasarkan sektor pada wilayah
provinsi atau kabupaten/kota. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah
dari upah minimum dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum
tersebut dapat dilakukan penangguhan.
Jika diterapkan secara konsisten,
kebijakan upah minimum sangat bermanfaat dalam melindungi kelompok kerja
marjinal seperti buruh, utamanya buruh di sektor informal. Mengingat laporan
dari Badan Pusat Statistik bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2011
tumbuh sebesar 6,5% dibandingkan tahun 2010, maka sudah selayaknyalah upah
minimum yang diberikan kepada buruh juga naik dengan proporsi yang sebanding
dengan pertumbuhan ekonomi yang disumbangkan. Namun yang terjadi dilapangan
adalah banyaknya aksi-aksi demonstrasi sebagai akibat dari rendahnya upah
minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini seharusnya mendapat perhatian
khusus dari pemerintah bahwa sebenarnya politik upah murah adalah pola
kebijakan yang salah dalam sistem ketenagakerjaan kita. Bahwa seharusnya sektor
buruh harus lebih diperhatikan mengingat negara-negara maju yang bergerak pada
sektor industri umumnya adalah negara yang benar-benar memberikan pelayanan
yang baik kepada tenagakerjanya, sebagai contoh adalah Inggris. Karena
sebernarnya dengan memberikan upah yang layak dan memuaskan secara tidak
langsung justru dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas kerja buruh. Upah
tersebut dapat digunakan untuk peningkatan kualitas buruh melalui mengikuti
pelatihan-pelatihan, bahkan untuk menempuh pendidikan sembari bekerja. Dengan
meningkatnya knowladge dari buruh
otomatis meningkat jugalah kualitas produksi dan kualitas buruh itu sendiri,
sehingga buruh-buruh indonesia tidak lagi diobral murah pada sektor kerja
rendah, namun menjadi tenaga kerja yang berkelas.
2.
PHK dan Pembayaran Uang
Pesangon
Pengaturan mengenai PHK
dan pembayaran uang pesangon dijelaskan pada pasal 150 sampai pasal 172 Undang-undang
No 13 tahun 2003. PHK hanya dapat dilakukan perusahaan atas perundingan dengan
serikat pekerja, dan jika dari perundingan tersebut tidak mendapatkan
persetujuan maka permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan
secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
disertai alasan yang mendasarinya.
Pada masalah mengenai PHK memang sangat
banyak terjadi ketidaksesuaian antara apa yang terjadi pada lapangan dengan apa
yang telah diatur dalam undang-undang. Masalah yang sering terjadi dalam hal
PHK adalah mengenai PHK yang terjadi karena tutupnya perusahaan, penggabungan
perusahaan, dan beralihnya kepemilikan perusahaan.
Jika terjadi PHK perusahaan
diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima. Kepada pekerja yang mengundurkan diri
secara sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat dinyatakan bahwa
pengusaha tidak wajib membayar uang pesangon kepada pekerja.
Alasan seperti disebut di atas
sering dijadikan para pengusaha sebagai alasan agar tidak memberikan pesangon
kepada para pekerjanya, alasan itu memang dapat diterima. Namun dalam
kenyataannya yang seharusnya para pekerja yang di PHK mendapat uang pisah
ternyata tidak juga diberikan oleh para pengusaha secara spontan. Artinya para
pengusaha sering sekali memanfaatkan ketidaktahuan pekerja tentang uang pisah
tersebut agar tidak mengeluarkan uang pada saaat melakukan PHK, biasanya uang
pisah diberikan setelah pekerja menuntutnya.
3.
Hubungan Kerja
a)
Dalam pasal 56 Undang-undang No 13 tahun
2003 dinyatakan bahwa perjanjian kerja dibuat untuk
waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Selanjutnya, dinyatakan bahwa perjanjian
kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu : pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b)
Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam
waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c)
Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d)
Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru,
kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap.
Undang-undang ini juga mengatur
berbagai persyaratan penggunaan tenaga kerja dan pemborongan produk dari luar
perusahaan. Penggunaan pekerja kontrak, pemborongan pekerjaan produksi dan jasa
pada pihak luar (outsourcing), dan perekrutan tenaga kerja melalui agen
penempatan tenaga kerja dibatasi hanya untuk beberapa jenis pekerjaan tertentu
dan dalam jangka waktu tertentu. Pemborongan pekerjaan produksi dan jasa pada
pihak luar hanya diperbolehkan bagi pekerjaan yang bukan pekerjaan utama dari
perusahaan. Selanjutnya dalam konteks ini hubungan kerja yang terjadi adalah
antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Lagi-lagi yang menjadi tujuan dari
ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk memberikan perlindungan kepada
perusahaan-perusahaan. Peraturan sedemikian, utamanya pengaturan mengenai
tenaga kerja outsourcing dinilai
sangat menyengsarakan nasib buruh. Karena dengan diakuinya legalitas dari
penggunaan tenaga kerja outsourcing menyebabkan buruh yang bekerja pada
dalam tersebut tidak memperoleh hak-hak yang vital, yakni jaminan kesehatan,
jaminan keselamatan kerja, dan pesangon pada PHK yang dikarenakan habisnya masa
kontrak.
Pada saat ini upaya yang dapat
dilakukan dalam hal memperbaiki sistem ketenagakerjaan adalah dengan tidak lagi
menciptakan
fleksibilitas pasar
kerja, dengan memperbaiki aturan main ketenagakerjaan yang berkaitan dengan rekrutmen, outsourcing, pengupahan, PHK, memperbaiki aturan main yang mengakibatkan lemahnya perlindungan terhadap tenaga kerja, serta meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan hukum ketenagakerjaan itu sendiri. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) sendiri saat ini tengah menyusun konsep untuk membentuk Komite Pengawasan Ketenagakerjaan. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya membenahi sektor ketenagakerjaan dengan jalan memperbaiki sistem pengawasan ketenagakerjaan secara nasional. Anggota komite tersebut terdiri dari pemerintah, serikat pekerja, asosiasi pengusaha, serta kepolisian dan kejaksaan. Komite ini mendukung kemampuan pengawasan ketenagakerjaan dalam melaksanakan penegakan hukum di bidang ketenagakerjaan secara terpadu, terkoordinasi, dan terintegrasi pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota.
kerja, dengan memperbaiki aturan main ketenagakerjaan yang berkaitan dengan rekrutmen, outsourcing, pengupahan, PHK, memperbaiki aturan main yang mengakibatkan lemahnya perlindungan terhadap tenaga kerja, serta meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan hukum ketenagakerjaan itu sendiri. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) sendiri saat ini tengah menyusun konsep untuk membentuk Komite Pengawasan Ketenagakerjaan. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya membenahi sektor ketenagakerjaan dengan jalan memperbaiki sistem pengawasan ketenagakerjaan secara nasional. Anggota komite tersebut terdiri dari pemerintah, serikat pekerja, asosiasi pengusaha, serta kepolisian dan kejaksaan. Komite ini mendukung kemampuan pengawasan ketenagakerjaan dalam melaksanakan penegakan hukum di bidang ketenagakerjaan secara terpadu, terkoordinasi, dan terintegrasi pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota.
Semoga saja kebijakan-kebijakan yang
ditempuh oleh pemerintah dapat memperbaiki sistem ketenagakerjaan dengan tidak
menimbulkan masalah baru dalam pelaksanaannya, sehingga tenaga kerja Indonesia
dapat benar-benar tersejahterahkan seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang
Dasar 1945.
0 komentar:
Posting Komentar