Rabu, 27 Juni 2012

KEBIJAKAN PASAR KERJA FLEKSIBEL DI INDONESIA

Oleh : Gunardi Lumbantoruan
Kebijakan pasar kerja fleksibel merupakan langkah pemerintah dalam memanjakan para pengusaha dengan menjamin politik upah murah dan aturan yang longgar dalam dunia perburuhan demi memastikan keberlangsungan sektor ekonomi makro namun memarginalkan hak-hak buruh. Representasi dari kebijakan ini dapat dilihat dalam pelaksanaan Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang tidak konsisten. Dalam pelaksanaan Undang-undang tersebut dapat kita lihat beberapa kebijakan pemerintah yang selama ini disebut-sebut sebagai kebijakan pasar kerja fleksibel. Kebijakan tersebut adalah ketentuan mengenai upah minimum, ketentuan mengenai PHK, dan ketentuan mengenai hubungan kerja.


1.                Upah Minimum
Pengaturan mengenai upah minimum dijelaskan pada pasal 88 sampai pasal 94 Undang-undang No 13 tahun 2003. Dalam pasal 88 ayat 3 huruf a disebutkan bahwa upah minimum merupakan salah satu kebijakan pengupahan. Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Upah minimum ditetapkan berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota serta berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum tersebut dapat dilakukan penangguhan.
Jika diterapkan secara konsisten, kebijakan upah minimum sangat bermanfaat dalam melindungi kelompok kerja marjinal seperti buruh, utamanya buruh di sektor informal. Mengingat laporan dari Badan Pusat Statistik bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2011 tumbuh sebesar 6,5% dibandingkan tahun 2010, maka sudah selayaknyalah upah minimum yang diberikan kepada buruh juga naik dengan proporsi yang sebanding dengan pertumbuhan ekonomi yang disumbangkan. Namun yang terjadi dilapangan adalah banyaknya aksi-aksi demonstrasi sebagai akibat dari rendahnya upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini seharusnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah bahwa sebenarnya politik upah murah adalah pola kebijakan yang salah dalam sistem ketenagakerjaan kita. Bahwa seharusnya sektor buruh harus lebih diperhatikan mengingat negara-negara maju yang bergerak pada sektor industri umumnya adalah negara yang benar-benar memberikan pelayanan yang baik kepada tenagakerjanya, sebagai contoh adalah Inggris. Karena sebernarnya dengan memberikan upah yang layak dan memuaskan secara tidak langsung justru dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas kerja buruh. Upah tersebut dapat digunakan untuk peningkatan kualitas buruh melalui mengikuti pelatihan-pelatihan, bahkan untuk menempuh pendidikan sembari bekerja. Dengan meningkatnya knowladge dari buruh otomatis meningkat jugalah kualitas produksi dan kualitas buruh itu sendiri, sehingga buruh-buruh indonesia tidak lagi diobral murah pada sektor kerja rendah, namun menjadi tenaga kerja yang berkelas.

2.                PHK dan Pembayaran Uang Pesangon
Pengaturan mengenai PHK dan pembayaran uang pesangon dijelaskan pada pasal 150 sampai pasal 172 Undang-undang No 13 tahun 2003. PHK hanya dapat dilakukan perusahaan atas perundingan dengan serikat pekerja, dan jika dari perundingan tersebut tidak mendapatkan persetujuan maka permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang mendasarinya.
Pada masalah mengenai PHK memang sangat banyak terjadi ketidaksesuaian antara apa yang terjadi pada lapangan dengan apa yang telah diatur dalam undang-undang. Masalah yang sering terjadi dalam hal PHK adalah mengenai PHK yang terjadi karena tutupnya perusahaan, penggabungan perusahaan, dan beralihnya kepemilikan perusahaan.
Jika terjadi PHK perusahaan diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Kepada pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat dinyatakan bahwa pengusaha tidak wajib membayar uang pesangon kepada pekerja.
Alasan seperti disebut di atas sering dijadikan para pengusaha sebagai alasan agar tidak memberikan pesangon kepada para pekerjanya, alasan itu memang dapat diterima. Namun dalam kenyataannya yang seharusnya para pekerja yang di PHK mendapat uang pisah ternyata tidak juga diberikan oleh para pengusaha secara spontan. Artinya para pengusaha sering sekali memanfaatkan ketidaktahuan pekerja tentang uang pisah tersebut agar tidak mengeluarkan uang pada saaat melakukan PHK, biasanya uang pisah diberikan setelah pekerja menuntutnya.

3.                Hubungan Kerja
a)      Dalam pasal 56 Undang-undang No 13 tahun 2003  dinyatakan bahwa perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Selanjutnya, dinyatakan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b)      Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c)      Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d)     Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Undang-undang ini juga mengatur berbagai persyaratan penggunaan tenaga kerja dan pemborongan produk dari luar perusahaan. Penggunaan pekerja kontrak, pemborongan pekerjaan produksi dan jasa pada pihak luar (outsourcing), dan perekrutan tenaga kerja melalui agen penempatan tenaga kerja dibatasi hanya untuk beberapa jenis pekerjaan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Pemborongan pekerjaan produksi dan jasa pada pihak luar hanya diperbolehkan bagi pekerjaan yang bukan pekerjaan utama dari perusahaan. Selanjutnya dalam konteks ini hubungan kerja yang terjadi adalah antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Lagi-lagi yang menjadi tujuan dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk memberikan perlindungan kepada perusahaan-perusahaan. Peraturan sedemikian, utamanya pengaturan mengenai tenaga kerja outsourcing dinilai sangat menyengsarakan nasib buruh. Karena dengan diakuinya legalitas dari penggunaan tenaga kerja outsourcing menyebabkan buruh yang bekerja pada dalam tersebut tidak memperoleh hak-hak yang vital, yakni jaminan kesehatan, jaminan keselamatan kerja, dan pesangon pada PHK yang dikarenakan habisnya masa kontrak.
Pada saat ini upaya yang dapat dilakukan dalam hal memperbaiki sistem ketenagakerjaan adalah dengan tidak lagi menciptakan fleksibilitas pasar
kerja, dengan memperbaiki aturan main ketenagakerjaan yang berkaitan dengan rekrutmen, outsourcing, pengupahan, PHK, memperbaiki aturan main yang mengakibatkan lemahnya perlindungan terhadap tenaga kerja, serta meningkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan hukum ketenagakerjaan itu sendiri. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) sendiri saat ini tengah menyusun konsep untuk membentuk Komite Pengawasan Ketenagakerjaan. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya membenahi sektor ketenagakerjaan dengan jalan memperbaiki sistem pengawasan ketenagakerjaan secara nasional. Anggota komite tersebut terdiri dari pemerintah, serikat pekerja, asosiasi pengusaha, serta kepolisian dan kejaksaan. Komite ini mendukung kemampuan pengawasan ketenagakerjaan dalam melaksanakan penegakan hukum di bidang ketenagakerjaan secara terpadu, terkoordinasi, dan terintegrasi pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota.
Semoga saja kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah dapat memperbaiki sistem ketenagakerjaan dengan tidak menimbulkan masalah baru dalam pelaksanaannya, sehingga tenaga kerja Indonesia dapat benar-benar tersejahterahkan seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.

0 komentar:

Posting Komentar