Rabu, 04 Juli 2012

MENELAAH ISU MAKAR TERHADAP PEMERINTAH AKIBAT KENAIKAN HARGA BBM 2012 DARI KACAMATA HUKUM PIDANA

Oleh : Rizky Indra Adi Prasetyo
I.  Pendahuluan
      Rencana kenaikan harga BBM tahun 2012 oleh pemerintah akan berdampak besar bagi masyarakat, mulai dari naiknya harga-harga kebutuhan pokok hingga munculnya aksi-aksi masa menentang kebijakan tidak populer ini. Sebagian masyarakat menentang kebijakan tersebut karena dianggap akan menyengsarakan rakyat dan juga bertentangan dengan hukum, dimana melanggar UU No. 22/2011 tentang APBN 2012, dan Perpres No. 15/2012 tentang harga jual eceran BBM tertentu. Namun dari aksi-aksi masa tersebut pemerintah menuding ada segelintir orang yang memanfaatkan isu kenaikan harga BBM untuk melakukan makar[1]. Terlepas dari benar tidaknya keberadaan
rencana makar tersebut, pemerintah tidak perlu paranoid mengingat di era demokrasi, kontrol terhadap kebijakan pemerintah terakomodasi dengan sistem cheks and balances dan juga legitimasi penguasa tidak lagi mudah digoyahkan dengan instabilitas politik seperti di era suksesi penguasa sebelumnya, meskipun juga tak pernah terbukti ada suksesi kekuasaan yang murni akibat hasil makar di negeri ini. Maka muncul pertanyaan, apa batasan-batasan perbuatan dikatakan makar, bagaimana aturan pidananya mengenai sanksi dan sifat melawan hukumnya. Semua akan ditelaah lebih mendalam pada bab pembahasan yang berdasar tinjauan pustaka dan penelitian. Dengan demikian tulisan ini diharapkan bisa memberikan gambaran singkat mengenai perbuatan makar serta aturan hukum pidananya dalam KUHP, sehingga dalam topik kenaikan BBM ini pembaca dapat mengkualifikasikan mana yang termasuk delik makar dan mana yang hanya berupa intrik politik biasa.
II.  Tinjauan Pustaka
Makar yang dalam KBBI artinya usaha atau perbuatan untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah, dalam KUHP dinyatakan sebagai kejahatan terhadap keamanan negara. Tapi, KUHP tidak mengadakan perbedaan antara keamanan ke dalam atau ke luar. Walaupun begitu, dalam sistematika ilmu hukum makar di bagi sebagai berikut :
A.    Hochverrat (Kejahatan terhadap keamanan dalam negeri), meliputi: makar terhadap keselamatan Presiden dan Wakil Presiden (psl 104), terhadap wilayah negara (psl 106), terhadap pemerintahan (psl 107). 
B.     Landesverrat (Kejahatan terhadap keamanan negara ke luar)[2]
Jadi perbuatan makar dapat berupa kejahatan terhadap keamanan negara baik ke dalam maupun ke luar. Dan dalam KUHP diatur pada buku ke-2 yaitu bab I tentang kejahatan terhadap keamanan negara dan sebagian terdapat di bab II tentang kejahatan-kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden , jadi secara umum sebenarnya delik makar itu luas cakupannya. Oleh karena itu, yang akan banyak ditelaah adalah Hochverrat atau makar yang berupa kejahatan terhadap keamanan dalam negeri, sedangkan untuk delik makar Landesverrat atau kejahatan terhadap keamanan negara ke luar oleh penulis dirasa kurang relevan dengan isu makar akibat kenaikan harga BBM dalam negeri, meskipun tidak menutup kemungkinan isu makar yang dimaksud bisa mengarah ke Landesverrat.
III. Metode Penelitian
            Penulis menggunakan metode penelitian dari fakta berita berbagai media berdasar analisa yuridis normatif  serta interpretasi hukum yang berdasar pustaka.
IV. Pembahasan
Dalam kaitannya isu makar akibat kenaikan BBM ini, kutipan dari redaksi asli pasal 107 KUHP berikut dirasa penulis paling sesuai digunakan :“De aanslag, ondernomen met het oogmerk om omventelingteweeg te brengen, wordt gestraft met gevangenisstraft van ten hoogste vifjtien jaren”. Prof. Moeljatno menerjemahkan “makar dengan maksud menggulingkan pemerintahan diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”. Mengapa dikatakan paling sesuai, karena menurut penafsiran penulis, delik makar pasal 107 menunjukan pada kejahatan menggulingkan legitimasi pemerintahan yang sah. Tapi penafsiran awal penulis ini ternyata tidak tepat, karena berdasar penafsiran KUHP yang telah memiliki kekuatan hukum tetap tidak demikian, hal ini tercantum pada pasal 88 bis KUHP berbunyi sbb : “Dengan menggulingkan pemerintahan (omventeling) dimaksudkan meniadakan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan menurut UUD”. Jadi obyek disini adalah bentuk pemerintahan bukan legitimasi pemerintahan seperti penafsiran penulis. Sedangkan menurut Jellinek bentuk pemerintahan dibagi 2 yaitu Monarki dan Republik dan masing-masing masih duraikan lagi[3]. Oleh karena itu bila tujuan aksi masa menentang kenaikan harga BBM salah satu tujuannya untuk menggoyahkan legitimasi Presiden yang berkuasa untuk melepas jabatannya karena kebijakannya dianggap menyengsarakan rakyat seperti yang terjadi pada tanggal 21 Mei 1998 saat turunnya presiden Soeharto, maka menurut pasal 107 jo pasal 88 bis KUHP perbuatan tersebut tidak termasuk makar, selama tidak bertujuan meniadakan atau mengubah bentuk pemerintahan menurut UUD secara tidak sah.
Namun demikian lain halnya bila ada aksi-aksi masa, kelompok, atau perseorangan bertujuan untuk menghilangkan nyawa Presiden atau Wakilnya dengan maksud merampas kemerdekaan mereka atau menjadikan tidak mampu memerintah, maka termasuk delik makar pasal 104 KUHP dan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu paling lama 20 tahun. Jadi yang menjadi obyek adalah keselamatan presiden, contoh kasus di Indonesia adalah serangan bom Cikini yang menimpa presiden Soekarno[4]. Selain pasal 104 dan 107 ada juga pasal 106 KUHP yang dapat dijadikan acuan apabila perbuatan makar yang dituding pemerintah adalah pemanfaatan keadaan instabilitas politik akibat naiknya harga BBM sebagai alasan agar wilayah negara seluruhnya atau sebagian jatuh ke tangan musuh atau dengan maksud memisahkan sebagian wilayah negara lain, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu paling lama 20 tahun. Contohnya : PRRI/PERMESTA, Republik Maluku Selatan (RMS)[5], dsb. Selanjutnya mengenai ketentuan dalam pasal 110 KUHP ayat (1) menyatakan bahwa “Pemufakatan jahat akan melakukan salah satu kejahatan pada pasal 104, 106, 107, 108 dihukum sama dengan kejahatan itu”. Sedangkan pemufakatan jahat dalam pasal 88 KUHP diartikan bila 2 orang atau lebih sepakat melakukan kejahatan. Jadi kesepakatan / persiapan makar dapat dipidana sama seperti delik makar yang telah terlaksana / selesai terjadi sesuai pasal 110 KUHP ayat (1) – (5).
  V. Penutup
            Tudingan pemerintah tentang adanya segelintir orang yang akan memanfaatkan keadaan instabilitas politik akibat naiknya harga BBM 2012 untuk makar menimbulkan keresahan dan tanda tanya besar bagi masyarakat. Apa dasarnya dan siapa pelakunya hanya diketahui oleh Presiden dan intelijen. Sedangkan masyarakat akan mengetahuinya jika perbuatan makar sudah benar-benar terjadi, tapi berdasar pasal 110 ayat (1) KUHP,  pemufakatan atau persiapan makar sudah dapat dikenai pidana makar. Oleh karena itu, jika benar ada isu makar, seharusnya aparat sudah dapat digerakan untuk menyelidikinya agar para pelakunya dibawa ke pengadilan supaya tidak meresahkan masyarakat dan pemerintah.
A.     Kesimpulan
Secara teoritis pada dasarnya ada 2 bentuk makar, yaitu terhadap kejahatan terhadap keamanan dalam negeri negara (Hochverrat), dan keluar (Landesverrat). Sedangkan kedalam negeri dibagi menjadi 3, yaitu: makar terhadap keselamatan Presiden & Wakil Presiden, terhadap wilayah negara, terhadap pemerintahan. Ketiganya tercantum pada pasal 104,106,107 KUHP.
B.     Saran
Di era demokrasi, perbedaan pendapat dan aksi masa berupa demonstrasi adalah wajar bisa berupa penolakan kebijakan, kritik pedas terhadap pemerintah atau intrik politik untuk merebut simpati masa. Tapi untuk dapat dikatakan makar, harus berdasar apa yang ada dalam KUHP. Dan apabila memang gerakan makar yang dituding pemerintah itu ada, maka seharusnya aparat segera bergerak dan membawa pelakunya ke pengadilan agar semua clear dan jelas.
Daftar Pustaka
Djoko Prakoso, 1986, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, Ghalia :Jakarta
Moeljatno, 1978, KUHP, Yayasan Penerbit Gadjah Mada: Yogyakarta
Soehino, 2008, Ilmu Negara, Liberty : Yogyakarta
GATRA.com , SBY di Bawah Bayang-bayang Makar,  19 March 2012, 11:20
[1] GATRA.com , SBY di Bawah Bayang-bayang Makar,  19 March 2012, 11:20
[2] Djoko Prakoso, S.H.,1986, Tindak Pidana Makar Menurut KUHP, Ghalia : Jakarta, hlm. 34
[3] Soehino, Prof., S.H., 2008, Ilmu Negara, Liberty : Yogyakarta,  hlm.181
[4] Djoko Prakoso, S.H.,op.cit, hlm.10
[5] Ibid, hlm.10

0 komentar:

Posting Komentar