Jumat, 20 April 2012

MERAMAL DAN MENAFSIR MIMPI SEBAGAI SUATU TINDAK PIDANA

Oleh : Gunardi Lumbantoruan
PENDAHULUAN
Maraknya bisnis ramal-meramal dan tafsir mimpi di Indonesia merupakan suatu bentuk nyata dari “mandulnya” pasal 545 KUHP dalam meredam kegiatan-kegiatan mistis dalam hal menujum, meramal, atau memberikan keterangan tentang impian sebagai mata pencaharian. Fenomena ramal-meramal di Indonesia saat ini merupakan suatu bisnis yang sangat menjanjikan, telah terbukti bahwa peramal kondang Indonesia bernama lengkap Laurentia Pasaribu atau lebih akrab disapa Mama Louren dapat meraup keuntungan yang tidak sedikit dan juga popularitas yang besar dari hasil kegiatannya tersebut.



Disamping itu bisa kita cermati sendiri betapa banyaknya iklan-iklan secara terang-terangan, baik yang mengatasnamakan orang pribadi, maupun badan usaha, yang menyediakan jasa ramal. Hal ini mengundang kegundahan tersendiri bagi penulis. Bahwa tindakan menujum, meramal, atau memberikan keterangan tentang impian sebagai mata pencaharian adalah sebuah tindakan pidana sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 545 KUHP. Namun kenyataan di lapangan mengajak kita untuk menyimpulkan bahwa kegiatan ramal-meramal adalah suatu tindakan yang biasa-biasa saja, padahal bukan demikian benarnya. Kegiatan ramal-meramal dapat menjadi suatu preseden buruk bagi dunia hukum Indonesia, karena tindakan yang jelas-jelas dinyatakan sebagai tindak pidana, nyata-nyatanya tidak mendapat penindakan yang seharusnya. Bahwa seharusnya Hukum juga harus melindungi orang-orang yang mudah percaya terhadap hal-hal mistis, agar tidak terperangkap isi peramalan dan isi tafsiran mimpi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya tersebut.
Berangkat dari permasalahan diatas penulis menyadari akan pentingnya suatu penyadaran bagi masyarakat dan para penegak hukum tentang tindak pidana ramal-meramal dan penafsiran mimpi sebagai suatu tindak pidana, maka dalam kesempatan kali ini, berkaitan dengan tugas yang diberikan oleh bapak/ibu dosen bagian Hukum Pidana, penulis hendak menulis sebuah tulisan yang berjudul:
MERAMAL DAN MENAFSIR MIMPI SEBAGAI SUATU TINDAK PIDANA


LEGAL STANDING
1.      Unsur-unsur Tindak Pidana
Untuk mengetahui suatu perbuatan dapat digolongkon sebagai suatu tindak pidana, maka terlebih dahulu perlu diketahui mengenai unsur-unsur tindak pidana. Berikut ini dipaparkan pendapat para ahli hukum pidana mengenai unsur-unsur tindak pidana :
1.      Moelyatno
Menurut moeljatno, “Pada hakekatnya tiap-tiap tindak pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir, oleh karena perbuatan, yang mengandung kelakuan, dan akibat yang ditimbulkan karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Akhirnya Moeljatno mengatakan bahwa untuk menyimpulkan yang diajukan di atas, maka yang merupakan unsur-unsur atau elemen tindak pidana adalah :
a.       Kelakuan dan akibat (perbuatan)
b.      Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c.       Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d.      Unsur melawan hukum yang obyektif
e.       Unsur melawan hukum yang subyektif.[1])

2.      D. Simons
Strafbaarfeit adalah “een strafbaar gestelde, on rechmatige met schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar person”. Jadi unsur-unsur strafbaarfeit:
a.       Perbuatan manusia (positif maupun negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan)
b.      Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld)
c.       Melawan hukum (onrechtmating)
d.      Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verban staand)
e.       Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon)

3.      Van Hamel
Membuat defenisi strafbaarfeit adalah “recht wet telijk omschreven menschelijke gedraging, onrecht matis, strawaardingen aan schuld te wijen.” Jadi unsur-unsurnya adalah:
a.       Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang
b.      Dengan cara melawan hukum
c.       Dilakukan dengan kesalahan
d.      Patut dipidana

4.      E. Mezger
Strafbaarfeit adalah “Die straftat ist der inbegriff der voraussetzungen der strafe” (Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana). Dengan demikian unsur-unsur tindak pidana adalah :
a.       Perbuatan dalam arti yang luas bagi manusia (aktif atau membiarkan)
b.      Sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun subyektif)
c.       Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang
d.      Diancam dengan pidana.

5.      H.B. Vos
Menurut beliau strafbaarfeit hanya berunsurkan:
a.       Kelakuan manusia, dan
b.      Diancam pidana dalam undang-undang.[2])


2.      Tindak Pidana Mengenai Kesopanan
Ketentuan mengenai tindak pidana kesopanan diatur dalam Bab XIV Buku Kedua KUHP mengenai kejahatan terhadap kesopanan dan Bab VI Buku Ketiga KUHP mengenai pelanggaran terhadap kesopanan. Ketentuan ini dibuat untuk melindungi kepentingan hukum terhadap rasa kesopanan masyarakat termasuk mengenai rasa kesusilaan di dalam nya.
Berdasarkan pertimbangan pembentuk undang-undang mengenai objek rasa kesopanan masyarakat itu, dapat dipilah antara penyerangan terhadap rasa kesopanan yang bercorak kejahatan dimana sifat penyerangan pada kepentingan hukum mengenai rasa kesopanan yang lebih berat daripada penyerangan terhadap rasa kesopanan yang bercorak pelanggaran, maka undang-undang membagi tindak pidana kesopanan ini, menjadi kejahatan kesopanan dimuat dalam Bab XIV (Misdrijven tegen de zeden) : pasal 281 -303 dan pelanggaran kesopanan Bab VI (overtredingen betreffende de zeden) : pasal 532-547. Pada kenyataannya memang pelanggaran kesopanan lebih ringan daripada kejahatan kesopanan.[3])

PEMBAHASAN
Tindak pidana menujum, meramal, atau memberikan keterangan tentang impian sebagai mata pencaharian diatur dalam pasal 545 KUHP, rumusannya sebagai berikut :
1)      Barang siapa menjadikan sebagai pencahariannya, untuk menyatakan peruntungan seseorang, untuk mengadakan peramalan atau penafsiran impian, diancam dengan kurungan paling lama enam hari atau denda paling banyak dua puluh rupiah.
2)      Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidananya dapat dilipatduakan.[4])
Dalam rumusan tindak pidana pelanggaran ayat (1) terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
a.       Perbuatannya :
1)      Mengadakan peramalan
2)      Mengadakan penafsiran impian
b.      Untuk menyatakan peruntungan seseorang
c.       Yang dijadikannya sebagai pencaharian[5])
Peramalan dan penafsiran mimpi adalah suatu tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, hal ini dapat berpotensi merugikan orang lain, karena dapat mempengaruhi kejiwaan seseorang yang diramal atau ditafsirkan mimpinya, utamanya adalah orang-orang yang mudah percaya dengan kegiatan mistis.
Peramalan ialah melakukan suatu perbuatan dengan menyampaikan atau mengucapkan keteranga-keterangan pada orang lain mengenai : (1) segala sesuatu yang akan terjadi kelak dikemudian hari, atau (2) mengenai hal yang lalu atau sedang berlalu tetapi tidak diketahui sebenarnya. Menafsirkan mimpi pada dasarnya mempunyai sifat yang sama dengan peramalan, yakni sama-sama mengenai segala hal yang tidak diketahui orang lain, tetapi menafsirkan mimpi didasarkan pada apa yang dialami seseorang dalam mimpi.[6])
Berdasarkan pasal 545 KUHP, tidak disebutkan bahwa orang yang melakukan peramalan atau penafsiran impian harus dilakukan oleh orang yang mempunyai mata pencaharian tunggal. Artinya seseorang yang menjadikan kegiatan peramalan atau penafsiran impian sebagai mata pencaharian sampingan, tambahan ataupun sementara juga dapat disalahkan sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada pasal 545 KUHP.
Menurut Prof. Simons, baik di dalam memorie van toelichting maupun di dalam Memorie van antwoord telah dijelaskan bahwa agar seseorang dapat disebut telah melakukan tindakan sebagai suatu bedriff atau suatu mata pencaharian, sudah cukup jika orang tersebut telah melakukan satu tindakan seperti itu.[7])
Perbuatan-perbuatan yang dilarang undang-undang untuk dilakukan di dalam ketentuan pidana yang diatur pasal 545 KUHP itu, oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI ternyata telah dipandang tidak perlu dilarang di dalam KUHP yang baru yang sedang dirancangnya.

KESIMPULAN
            Berdasarkan hasil pembahasan di atas maka penulis menyimpulkan bahwa tindak pidana mengenai tindakan peramalan dan penafsiran mimpi sebagai mata pencaharian merupakan tindakan yang merugikan kepentingan orang lain yang mudah percaya terhadap hal-hal mistis, karena peramalan atau penafsiran mimpi itu sendiri tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Bahwa maraknya kegiatan peramalan dan penafsiran mimpi di Indonesia adalah karena ketidakseriusan para penegak hukum untuk menegakkan hukum sesuai Undang-undang.

SARAN
            Karena tindakan peramalan dan penafsiran mimpi sebagai mata pencaharian merugikan kepentingan orang lain, dan telah diatur pula dalam pasal 545 maka seharusnya pemerintah, utamanya badan yudikatif harus menindak pihak-pihak yang melakukan tindak pidana tersebut. Penulis juga memandang bahwa hukuman yang diberikan kepada para peramal dan penafsir mimpi adalah sangat minim, karena hukuman dengan kurungan enam hari dan denda paling banyak dua puluh rupiah dipandang adalah hukuman yang kurang tegas, oleh karena itu penulis mengusulkan untuk menambah hukuman kepada para peramal dan penafsir mimpi sebagai mata pencaharian untuk lebih mengoptimalisasi efek jera kepada para pelaku.


DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami. 2005, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Djoko Prakoso, 2001,  Hukum Penitensier di Indonesia, PT Bina Aksara, Jakarta
Lamintang, P.A.F, Lamintang, Theo. 2009, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, Sinar Grafika, Jakarta.
Moeljatno. 2009, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Sinar Grafika Offset, Jakarta.
Prasetyo, Teguh. 2005, Hukum Pidana Materil, Kurnia Kalam Yogyakarta, Yogyakarta.







[1]) Djoko Prakoso,  Hukum Penitensier di Indonesia, hlm 104
[2]) Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Materil, hal 79
[3]) Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, hal 2
[4]) Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, hal 198
[5]) Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, hal 196
[6]) ibid
[7]) P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, hal 389

0 komentar:

Posting Komentar