Siaran Langsung Persidangan di Televisi,
Kebebasan Pers yang “Kebablasan”
Oleh
Gunardi Lumbantoruan
Kebebasan
pers dan Hak Azasi setiap warga Negara Indonesia memang telah dijamin oleh
Pasal 28, pasal 28 A hingga Pasal 28 I Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun perlu diketahui bahwa kebebasan di Indonesia bukanlah
kebebasan tanpa batas. Pasal 28 J ayat 2 jelas mengatakan bahwa dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang. Melihat fenomena akhir-akhir ini dimana media pertelevisian
Indonesia kerap kali menyiarkan persidangan secara live, maka saya merasa perlu
untuk melakukan kajian sederhana, terkait dengan patut atau tidaknya
persidangan disiarkan secara Live di televisi.
Adalah Pasal 28 F Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menjadi cikal bakal dari lahirnya Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang
Pers dan Undang-undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Peraturan tersebut menjadi
payung hukum dalam menjamin bebasan pers di Indonesia. Kebebasan Pers saat ini
merupakan hasil dari reformasi yang pelopori oleh mahasiswa untuk menumbangkan
rezim Orba. Jujur,
saya akui bahwa kebebasan Pers di negara ini jauh lebih baik jika dibandingkan
dengan zaman Orde Baru dahulu, kita patut berbangga
untuk itu. Namun dibalik kebanggaan itu, ada satu hal yang perlu dikritisi,
yakni terkait pengaturan agar kebebasan tersebut tidak sampai kelewat batas
atau kebablasan. Fenomena penyiaran persidangan secara langsung seolah menggambarkan
bahwa Kebebasan Pers di Indonesia adalah kebebasan Pers tanpa batas. Bayangkan,
suatu persidangan disiarkan secara langsung dan lengkap dengan komentatornya, seperti pertandingan sepak bola. Hal
ini menurut saya telah menabrak asas-asas dalam persidangan dan sekaligus menginjak-injak
wibawa persidangan, oleh karena itu saya sangat menolak hal ini. Berikut saya
menyampaikan beberapa alasan mengapa saya Menolak Penyiaran Persidangan secara Live oleh media televisi:
1. Melanggar Pasal 153
ayat 5 KUHAP
Pasal 153 ayat 3 KUHAP memang
menyatakan bahwa ketua sidang membuka
sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Sekilas hal ini memang membenarkan
fenomena penyiaran persidangan secara live dengan tujuan agar persidangan lebih
terbuka untuk umum. Namun perlu kita cermati isi dari Pasal 153 ayat 5 KUHAP
yang menyatakan bahwa Anak belum mencapai umur 17 tahun tidak diperkenankan
menghadiri siding. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa tujuan
dilarangnya anak yang masih di bawah umur untuk
mengikuti jalannya persidangan adalah untuk menjaga agar anak tidak terpengaruh
oleh perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, lebih-lebih dalam perkara kejahatan
berat, maka hakim dapat menentukan bahwa anak di bawah umur 17 tahun, kecuali
yang telah atau pernah kawin, tidak boleh mengikuti siding.
Hal ini jelas sangat berbeda
dengan apa yang terjadi jika persidangan disiarkan secara Live di televisi yang
notabene nya dapat ditonton oleh seluruh lapisan masyarakat dari berbagai usia.
Mulai dari anak sekolah SD dan SMP, anak belum dewasa, balita, bahkan bayi
dalam kandungan dapat menyaksikan persidangan tersebut. Hakim yang semula
diharapkan mencegah terjadinya hal ini sekarang tiada mungkin dapat melarang
siapa-siapa saja yang tidak boleh menyaksikan siaran live persidangan tersebut,
karena memang ia tidak dapat menjangkau hal itu.
Berdasarkan uraian tersebut di
atas tentunya sudah sangat jelas bahwa penyiaran persidangan secara langsung
oleh media televisi telah melanggar pasal 153 ayat 5 KUHAP yang secara
terang-terangan melarang anak-anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk
dapat menyaksikan persidangan. Disamping itu, menurut saya penyiaran persidangan
secara langsung oleh media televisi juga sangat berbahaya bagi generasi muda
bangsa ini, karena akan semakin terbanalisasikan pikirannya akan suatu kejahatan, baik itu tindak pidana korupsi atapun
kejahatan lain yang disiarkan secara live oleh media televisi, Hal ini akan
menyebabkan anak-anak beranggapan bahwa kejahatan-kejahatan luar biasa itu
adalah suatu kelaziman baginya.
2.
Pembentukan Opini Publik yang Tidak
Sehat
Saya menilai dengan disiarkannya
persidangan secara langsung lengkap dengan komentatornya, secara natural dapat
membentuk opini publik yang tidak sehat. “Kenapa tidak sehat ?”, Hal ini karena
analisia-analisia yang disampaikan oleh komentator tersebut biasanya sangat
subyektif dan selalu berusaha mendahului putusan hakim. Sebagai contoh jika
pihak dari ICW yang diminta menjadi komentator atas suatu kasus korupsi maka
otomatis ia akan menelanjangi habis si terdakwa di depan publik dan mengatakan
bahwa terdakwa sudah pasti bersalah dan patut dihukum berat, hal ini tentunya
akan membentuk pola pikir masyarakat yang pragmatis, yang akan sangat
menciderai asas Presumption of Innocent.
Sebaliknya jika pengacara terdakwa yang menjadi komentator maka ia akan
mengungkapkan dalil-dalil nya sebagai pembelaan untuk menyatakan terdakwa tidak
bersalah bahkan terkadang sedapat mungkin memposisikan terdakwa seolah-olah
sebagai korban dari suatu konspirasi, hal ini jelas dapat menyebabkan pembentukan opini
publik yang tidak sehat
Selain itu, televisi biasanya menyiarkan persidangan secara sepenggal-sepenggal,
hal ini karena adanya iklan atau hal lain yang membuat ada fakta persidangan
yang tak diketahui oleh penonton, hal ini tentu dapat menyebabkan kesesatan
pemahaman penonton terkait kebenaran materil dari suatu perkara yang dapat
menyebabkan pembentukan opini publik yang tidak sehat.
3. Konflik Batin
Hakim, “Antara Legal Justice atau Social Justice”
Pasal
24 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Merdeka maksudnya bebas dari intervensi pihak luar, artinya
ketika Hakim menjalankan tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara tidak boleh dicampuri oleh pihak lain. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaannya hendaknya hakim dihindarkan dari faktor-faktor yang dapat
mengancam kemandiriannya.
Mantan Hakim Agung Abdul Gani Abdullah mengatakan bahwa
politik hukum sering dipengaruhi opini publik. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa
politik hukum yang dibangun lebih banyak pada opini publik bisa berbahaya.
Apalagi jika opini publik itu dijadikan landasan pengambilan keputusan oleh
majelis hakim. Contohnya adalah tekanan terhadap majelis hakim berupa
demonstrasi dan berteriak-teriak di ruang sidang atau di luar gedung
persidangan.
Jika
hal ini dihubungkan dengan fenomena penyiaran persidangan yang jelas-jelas
telah membentuk opini publik yang mendahului putusan hakim yang dapat
menstimulasi masyarakat untuk berdemonstrasi agar seorang terdakwa divonis
bebas, maka hal ini akan menimbulkan dilema yang luar biasa besar bagi hakim
dalam memutus perkara. Di satu sisi ia akan tertekan dengan Opini publik yang
lebih menekankan pada social
Justice, sementara di sisi
lain ia berkewajiban untuk menegakkan hukum yang lebih menekankan pada legal
Justice.
4.
Mencederai Hak Privasi Para Pihak
Pasal 17 Undang-undang No
12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) mengatakan bahwa Tidak boleh
seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri
masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat-menyuratnya,
atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya. Terkait dengan asas
terbukanya persidangan untuk umum, maka perlu dicermati bahwa meski sidang
dinyatakan terbuka untuk umum, namun keterbukaan itu lebih ditekankan bagi
pihak-pihak yang berkepentingan secara langsung, yakni orang yang datang ke
pengadilan. Hal ini karena dalam persidangan kerap kali muncul informasi yang
sifatnya privasi bagi pihak-pihak yang berperkara yang memang tidak untuk
konsumsi publik. Tentunya adalah hal yang lazim jika informasi yang bersifat privasi
tersebut diketahui oleh pengunjung sidang, karena memang mereka berkepentingan
untuk hal itu dan memang mereka tidak dilarang untuk mengikuti jalannya
persidangan. Yang jadi masalah adalah ketika persidangan disiarkan secara
langsung di televisi, maka informasi yang sifatnya privasi tadi menjadi
menyebar luas dari Miangas sampai Pulau Rote. Hal ini tentu akan menciderai
hak-hak privasi dari para pihak yang berperkara, terutama terdakwa dan saksi
yang memang dimintai keterangannya dalam persidangan. Oleh karena itu untuk menjamin tidak terciderainya hak-hak
privasi yang telah dijamin oleh pasal 17 Undang-undang
No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik) tersebut maka hendaknya persidangan tidak disiarkan secara
langsung oleh media televisi.
Selain itu fenomena penyiaran persidangan secara langsung ini
juga melanggar Standar Program Siaran (SPS) KPI yang menjadi pedoman perilaku
penyiaran di Indonesia, yang secara eksplisit pada Pasal 13 mengatakan bahwa Lembaga
penyiaran wajib menghormati hak privasi seseorang dalam memproduksi dan/atau
menyiarkan suatu program siaran, baik siaran langsung maupun siaran tidak
langsung.
5. Pelanggaran Terhadap Undang-undang Penyiaran
Pasal 36
ayat 5 huruf a Undang-undang No 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran mengatakan bahwa
isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong. Apabila
hal ini kita kaitkan dengan fenomena penyiaran persidangan secara langsung yang
dengan sepotong-sepotong dan disertai dengan subjektivitas komentatornya, yang
memang telah jelas-jelas dapat membentuk opini publik yang tidak sehat dan
bahkan mengandung unsur menghasut dan menyesatkan, maka penyiaran persidangan
secara langsung ini sebaiknya tidak dilakukan lagi, karena memang melanggar
pasal 36 ayat 5 huruf a tersebut.
6. Perbandingan Kebebasan Pers
Organisasi
pers dunia “Reporters Without Borders” (RSF) meranking indeks kebebasan pers
Indonesia di peringkat 139 dengan skor 41,05. Hal ini
tentunya patut disambut baik oleh masyarakat karena memang mengalami
peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Namun dibalik prestasi tersebut, ada fenomena
keleluasaan Pers Indonesia untuk dapat meliput persidangan secara langsung yang
memang menjadi hal yang sangat unik dan sekaligus aneh. Negara yang belum
seberapa kedewasaan berdemokrasinya ini seolah ingin menyuarakan bahwa di
Indonesia Kebebasan Pers itu sangat terjamin. Padahal sejumlah kasus
pelanggaran terhadap jurnalis masih saja terus terjadi, mungkin kita juga masih
ingat insiden pemukulan Fotografer Riau Pos Didik Herawanto; wartawan Antara Rian Anggoro; kamerawan RTV Robbi; dan kamerawan TV One Ari oleh
oknum TNI AU pada saat jatuhnya pesawat Hawk 200 di Perumahan Pandau, Pasir Putih, Kabupaten Kampar, Riau.
Hal tentu menimbulkan pertanyaan, apakah kebebasan pers dalam meliput
persidangan itu by Planning atau by accident.
Amerika
Serikat sendiri sebagai negara demokrasi terbesar di dunia melarang peliputan
persidangan, bahkan membawa kamera ke dalam persidangan pun dilarang, dari 50
negara bagian, hanya negara bagian Minessota saja
yang membolehkan menyiarkan persidangan, tetapi itupun dibatasi hanya untuk
televisi kabel atau televisi berlangganan, hal ini dilakukan dengan
alasan menjaga indepedensi hakim dan asas praduga tidak bersalah.
Sementara Inggris
hanya memperbolehkan Live
Tweet dari ruang sidang. Namun hakim membatasi penggunaan Live Tweet hanya untuk kebutuhan
jurnalistik dan melarang penggunaannya oleh masyarakat umum dalam persidangan.
Tidak seperti di Indonesia, peliputan persidangan di Inggris sangat terbatas.
Pengambilan gambar, baik foto atau video, sepenuhnya dilarang. Sedangkan
rekaman suara hanya dibolehkan pada kondisi tertentu saja.
Atas dasar beberapa
pertimbangan tersebut di atas, maka seharusnya Pemerintah Indonesia melarang
adanya peliputan persidangan, terlebih secara live. Menurut hemat saya pelarangan ini dapat dilakukan oleh KPI
atau oleh Mahkamah Agung, atau opsi yang lebih baik adalah dengan membuat
undang-undang untuk mengaturn hal tersebut.
#MENOLAK Siaran Langsung
Persidangan di Televisi !!!!!!!
#MENOLAK Siaran Langsung
Persidangan di Televisi !!!!!!!
#MENOLAK Siaran Langsung
Persidangan di Televisi !!!!!!!
Dalam permainan poker dan domino 99 online membutuhkan banyak strategi untuk menang,
BalasHapusmemanfaatkan kartu bagus, ronde, waktu, taktik mengertak dan menipu lawan anda.
seperti dalam semua varian poker, setiap individu bersaing untuk sejumlah uang atau chip yang diberikan oleh para pemain,
dengan proses pembagian kartu secara acak. (PIN BBM: 7AC8D76B)
Salam untuk kalian para member setia S1288poker, bagi kalian yang ingin bergabung bersama kami di S1288poker kalian bisa langsung saja mendaftarkan diri kalian disini dan ajak teman kalian untuk bermaian di S1288poker,com dapat kan bonus juga bonus freechips setiap hari nya.
BalasHapusWA : 081910053031